Keberadaan “Perda Syari’ah” kini muncul lagi ke permukaan dan selalu menimbulkan kesalahfahaman. Perda, sejatinya adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat bersama-sama antara Gubernur dengan DPR Provinsi, atau antara Bupati/Walikota dengan DPR Kabupaten/Kota. Di Aceh, Perda disebut dengan istilah khusus yakni “Qanun”. Istilah “qanun” merujuk kepada tradisi hukum Islam, yakni peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara atau pemerintah.
Secara formal, di negara kita ini hanya dikenal adanya “Perda” saja, yang dikaitkan dengan daerah di mana Perda itu dibuat dan diberlakukan. Misalnya “Perda DKI Jakarta”, “Perda Kota Bandung” dan “Perda Kabupaten Belitung” dan seterusnya. Perda itu diberi nomor dan tahun dan diberi judul tentang ruang lingkup pengaturannya. Misalnya “Perda Kabupaten Belitung Timur Nomor 2 Tahun 2017 tentang Retribusi Pedagang Kaki Lima”. Apakah ada Perda yang secara khusus disebut “Perda Syari’ah”, misalnya Perda Provinsi Banten Nomor 10 Tahun 2018 tentang Syari’ah? Perda semacam itu tidak ada, dan belum pernah dijumpai di daerah manapun di tanah air kita ini.
Secara akademis dan teoritis menuangkan syariah (Islam) ke dalam satu Perda itu dapat dikatakan sebagai hal yang tidak mungkin karena keluasan cakupan pengaturan syari’ah Islam itu sendiri. Syari’ah adalah asas-asas pengaturan hukum yang ditemukan di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mencakup hampir keseluruhan bidang hukum, baik di bidang peribadatan maupun di bidang hukum privat (perdata) maupun hukum publik yang sangat luas cakupannya.
Pada dasarnya syari’ah berisi asas-asas hukum, pengaturan-pengaturan yang bersifat umum dan tidak detil, kecuali di bidang hukum perkawinan dan kewarisan. Pengaturan yang bersifat asas dan umum itu adalah kebijaksanaan Ilahi agar syari’ah itu dapat ditransformasikan ke dalam hukum positif (hukum yang berlaku di suatu tempat dan zaman tertentu) sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman.
Syari’ah bersifat abadi dan universal. Fungsinya adalah bimbingan dan petunjuk kepada pembentuk hukum (negara, pemerintah) dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif. Dalam konteks kehidupan masyarakat, syari’ah diulas oleh para ulama dan dimanifestasikan ke dalam pendapat dan fatwa para ulama untuk dijadikan sebagai pedoman prilaku bagi masyarakat.
Dalam konteks negara, syari’ah dapat dijadikan sebagai sumber hukum, yakni rujukan dalam proses pembentukan hukum di pusat maupun di daerah. Di dunia internasional, syari’ah (terutama berkaitan dengan hukum perang dan perdamaian) sangat banyak dijadikan sebagai rujukan dalam penyusunan berbagai konvensi hukum internasional. Guru saya, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum internasional, mengakui bahwa sumbangan terbesar dari hukum Islam ke dalam hukum internasional, adalah terletak pada hukum perang dan perdamaian.
Dengan uraian singkat di atas, apakah memang ada Perda Syari’ah atau Undang-Undang Syari’ah di negara kita ini? Secara formal tentu tidak ada. Namun secara substansial keberadaannya tentu tidak dapat dihindari. Sebab, ketika negara akan membentuk hukum, dalam arti merumuskan norma-norma hukum positif yang berlaku, maka negara tidak punya pilihan, kecuali mengangkat kesadaran hukum yang hidup dalam di kalangan rakyatnya sendiri dan memformulasikannya menjadi hukum positif melalui proses legislasi.
Kalau negara itu bersifat demokrasi, maka kesadaran hukum rakyatlah yang akan dijadikan sebagai referensi utama dalam merumuskan norma hukum positif. Lain halnya, kalau negara itu bersifat diktator, maka kemauan elit penguasalah yang akan dituangkan menjadi hukum yang berlaku.
Jarang-jarang ada negara yang mampu melawan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. UUD Philipina misalnya menyatakan negaranya sebagai “negara sekular”. Gereja Katolik Philipina berada di luar yurisdiksi Negara Philipina. Tetapi Presiden Gloria Arroyo Macapagal terpaksa memveto RUU yang membolehkan Keluarga Berencana yang sudah disahkan Senat Philipina. Mengapa RUU KB di Philipina gagal disahkan? Karena mayoritas rakyat Philipina yang beragama Katolik mentaati doktrin Gereja Katolik yang tidak membolehkan KB. Jadi negara yang mengaku sekular itu ternyata tidak mampu melawan kesadaran hukum rakyatnya.
Di Indonesia, kita sama-sama mengakui bahwa Pancasila adalah “sumber dari segala sumber hukum” dalam arti bahwa sila-sila dalam Pancasila itu adalah landasan falsafah dalam merumuskan norma-norma hukum. Norma hukum yang dirumuskan hendaknya secara filosofis tidak bertabrakan dengan sila-sila dalam Pancasila itu.
Sementara norma-norma hukum yang bersifat asas dan umum, bahkan telah menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat adalah terdapat di dalam hukum Islam, hukum Adat dan hukum eks kolonial Belanda yang telah diterima oleh masyarakat kita. Corak hukum kita, sesungguhnya sadar atau tidak, memang mencerminkan ketiga sistem hukum itu. Karena itu, jika kita merumuskan norma Undang-Undang Lalu Lintas misalnya, sadar atau tidak, norma hukum Islam, hukum Adat dan hukum eks kolonial Belanda sama-sama ditransformasikan ke dalam norma undang-undang itu. Jadi secara substansial norma-norma dari ketiga sistem hukum itu seolah menyatu ke dalam UU Lalu Lintas itu.
Meskipun demikian, memang ada norma hukum yang secara spesifik diperlukan keberlakuannya hanya bagi umat Islam saja, yakni hukum materil yang dijadikan dasar bagi pengadilan agama dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang menjadi kewenangannya. Keberadaan Pengadilan Agama kini telah disebutkan secara tegas oleh UUD 1945 hasil amademen. UU Peradilan Agama sudah kita miliki.
Tetapi hukum materil untuk dijadikan landasan bagi Pengadilan Agama untuk melaksanakan kewenangannya hingga kini belum ada. Apa yang ada barulah Kompilasi Hukum Islam yang dibuat pada masa Presiden Suharto yang dasar pemberlakuannya hanyalah Instruksi Presiden, bukan dalam bentuk undang-undang. Ini menjadi tugas Pemerintah dan DPR untuk membentuk hukum guna memenuhi kebutuhan hukum umat Islam misalnya di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Undang-undang yang secara khusus mengatur kebutuhan hukum umat Islam seperti dikatakan di atas, tidak perlu disebut sebagai Undang-Undang Syari’ah, tetapi disebut sebagai Undang-Undang Nomor.. Tahun… tentang Kewarisan Islam.
Adanya undang-undang seperti itu, tidak perlu membuat sebagian orang kaget, karena di zaman kolonial Belanda dulu juga ada Ordonansi Perkawinan Bagi Orang Kristen Indonesia atau Huwelijk Ordonantie Christen Indonesia Stb 1936-247. Negara kita yang penduduknya majemuk, di samping memberlakukan satu jenis hukum yang sama bagi semua penduduk, dapat pula memberlakukan kemajemukan hukum kepada rakyat dan penduduknya yang beragam itu.
Dengan uraian di atas, hemat saya tidaklah perlu kita meributkan “Perda Syari’ah” yang banyak menimbulkan salah faham itu. Secara formal Perda Syari’ah itu memang tidak ada. Namun secara substansial hal itu sangatlah wajar, karena bersesuaian dengan kesadaran hukum masyarakat kita sendiri, khusunya bagi umat Islam di negara kita.
Praha, 21 November 2018
YUSRIL IHZA MAHENDRA
Pakar Hukum Tata Negara