Tarik-menarik dukungan dalam waktu yang panjang dan bertele-tele, telah mendapatkan kejelasan. Sikap Politik Partai Bulan Bintang (PBB), yang semula dikatakan netral, akhirnya memutuskan melabuhkan dukungan dalam Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin.
Semua telah terbuka di hadapan mata umat dan mata publik, bahwa PBB telah menjadi bagian dari Jokowi dan Ma’ruf dalam pilpres 2019 ini, dengan meninggalkan Ijtima’ Ulama yang semula oleh PBB dijadikan sebagai acuan untuk mendukung Capres dan Cawapres.
Namun, Ijtima’ hanya diikuti oleh partai yang tergabung dalam koalisi keummatan. Sedangkan Partai yang disebut-sebut sebagai partai yang selalu memperjuangkan aspirasi umat meskipun bukan di jalur parlemen, kini dianggap telah meninggalkan umat. Slogan bela Islam, Bela NKRI, Bela Rakyat, kini tinggal ucapan, ruhnya telah diambil oleh keputusan politik yang berseberangan dengan umat. Itulah realitas politik yang sedang dihadapi oleh PBB. Kadang pada awalnya menggebu, berakhir pada titik terendah dari capaian kompromi. Ini sungguh menyayangkan bagi saya.
Keadaan ini mengingatkan kepada saya sebelum bergabung dengan PBB. Saat itu saya masih di PPP, oleh tokoh-tokoh partai politik yang dikategorikan sebagai partai besar, mengajak saya untuk bergabung dengan mempersiapkan fasilitas untuk saya dapat masuk ke Parlemen. Ajakan bergabung dan berbagai permintaan serta garansi dari teman-teman partai politik, berakhir ketika saya memutuskan untuk bergabung dengan PBB.
Bahkan beberapa senior mengingatkan saya, karena bergabung dengan partai yang belum tentu lolos Parlementary Threshold (PT) 4% itu. Mereka mengatakan langkah saya itu membunuh karir politik saya sendiri.
Tapi saya punya pandangan tersendiri pada waktu itu, karena saya caleg bukan ingin mengejar kursi DPR apalagi berebut kekuasaan dalam partai tertentu. Ada motivasi besar yang mendorong saya memilih PBB di tengah berbagai partai menawarkan banyak kesempatan bagi saya untuk dapat menjadi fungsionaris partai.
Yang membuat saya tergerak dan bergabung dengan PBB adalah cita-cita pandangan politik. Perjuangan PBB selama ini untuk menjadikan syariat Islam sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada dinegara ini, menjadi alasan utama bagi saya untuk ikut berjuang bersama PBB dalam menegakkan syariat Islam di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ditambah lagi dengan “tontonan heroisme” yang diperlihatkan oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra dan PBB. Sikap konsisten dan komitmen dalam membela yang wajar dibela, melakukan advokasi dan pembelaan. Umat dibela ketika kezaliman terus menghantam, ulama dan aktivis Islam dibela ketika dihantam oleh perlakuan tidak adil dari negara. Ormas Islam dibubarkan dan berbagai kriminalisasi yang santer dilakukan, dibela dan didampingi. Pemandangan yang demikian itu, membuat banyak orang bersimpati. Hingga ulama berbicara secara tajam dan vulgar tentang pentingnya politik Islam dan membesarkan partai Islam, yaitu PBB.
Ghirah saya untuk kembali mengambil jalan untuk bersama-sama memperjuangkan partai politik Islam, bersama-sama membesarkan partai Islam dengan motivasi berjuang membela umat, ulama, agama, bangsa dan negara. Motivasi utamanya adalah menegakkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suasana perasaan kebatinan itu membuat saya melangkah dan memutuskan untuk bergabung bersama PBB.
Disisi lain, semangat kebangkitan Islam tumbuh dimana-mana. Umat mulai sadar tentang pentingnya politik Islam. Umat pun menyambut seruan itu dengan sangat antusias, semua itu adalah bonus yang sangat menguntungkan bagi partai Islam khususnya PBB. Semangat pergerakan politik Islam ini mengingatkan kita pada tahun-tahun awal kemerdekaan.
PBB seharusnya menyeru untuk menambah lagi gairah dan semangat umat itu. Bukan sebaliknya, mengambil jalan yang berbeda dari arus besar kebangkitan Islam setelah 20 tahun reformasi. Spirit ulama yang hidup di tahun-tahun 1950-an muncul kembali pada tahun 2019. Ulama tidak lagi alpa mengingatkan umat tentang politik, tidak lagi alergi membahas politik Islam.
Bukti kongkritnya adalah ketika ulama berkumpul untuk tujuan politik Islam. Ini sangat luar biasa memberikan energi positif bagi partai Islam. PBB ikut mengambil bagian dalam Ijtima itu. Bahkan PBB mengatakan bahwa Ijtima ulama itu yang digadang-gadang sebagai jalan untuk mengambil keputusan terkait arah kebijakan politik PBB. Ijtima’ Ulama satu PBB lewatkan tanpa sikap sambil menunggu Ijtima’ Ulama dua. Setelah dua kali Ijtima’ Ketua Umum PBB bukan hanya diam tetapi justru mengambil jalan untuk menjadi pengacara Jokowi-Ma’ruf. Kader dan simpatisan serta umat masih bisa menerima alasan bahwa itu sikap pribadi. Alasan fokus Pileg semakin digencarkan.
Dengan alasan untuk mencari formula dan nilai tawar yang lebih besar, sikap dan tindakan itu diterima. Kelonggaran dan penerimaan kader dan para Caleg itu dengan alasan bahwa langkah itu adalah high politics. Tetapi semua sudah terbalik, bukan mencari posisi tawar, bukan juga merupakan langkah politik yang elit, ternyata justru itu langkah untuk mengulur waktu. Meninggalkan modal besar, dan medenkap bersama fantasi pada politik yang penuh perhitungan untung rugi.
Setelah waktu diulur-ulur, maka jalan curam diambil, yaitu memutuskan pilihan pilpres yang berseberangan dengan Ijtima’ Ulama dan arus mainstream umat. Sampai disini saya berhenti merenung sejenak, kenapa semua bisa berubah seketika?
Publik mengetahui bahwa partai yang dianggap sebagai warisan Masyumi itu adalah partai yang istiqomah dalam sikap dan perjuangan. Namun ini sama sekali berbeda jauh. Dalam hal integritas, tokoh-tokoh Masyumi memiliki integritas dengan ukuran yang tinggi, tidak mudah terombang-ambing dalam sahut menyahut kepentingan sesaat. Dalam sejarahnya, Masyumi tidak pernah mengambil jalan untuk berseberangan dengan umat, apalagi menantang arus utama umat. Justru sebaliknya, Masyumi mengambil aspirasi umat untuk diperjuangkan di Parlemen, disuarakan kepada penguasa.
Seringkali saya membaca, bagaimana kompromi diambil oleh para tokoh Islam dahulu. Sebelum kompromi diambil musyawarah mufakat di internal ulama, umat dan ormas Islam diselesaikan, dan baru kemudian dibuka kompromi untuk pihak luar.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sebagai salah satu ormas yang paling berperan mendirikan PBB yang dikatakan sebagai wali amanah, juga telah menyampaikan pandangan politiknya serta meminta PBB untuk mengikuti Ijtima’ ulama dengan mendukung Prabowo-Sandi. Itupun tidak dijadikan pertimbangan bagi Yusril dalam mengambil keputusan.
Justru yang terjadi, pendapat internal ditentang dan diprotes, kemudian mengambil kompromi tanpa jalan melalui pertimbangan, seperti, mempertimbangkan Ijtima’ ulama dan pendapat ormas Islam yang menjadi bagian dari berdirinya PBB serta pendapat tokoh-tokoh Islam yang ada. Semua dikesampingkan kemudian mengambil keputusan yang sama sekali berbeda bahkan berseberangan dengan arus utama umat. Akar rumput ditinggalkan.
Partai yang meninggalkan umat akan mendapatkan sebaliknya, ditinggalkan umat. Dan semenjak pemilu 2004 umat tidak memiliki jodoh. Kekosongan itu pula membuat ulama mencari jodoh bagi umat yang masih belum memiliki pemimpin yang bisa memperjuangkan aspirasinya. Ulama mengambil ijtihad politik dan mengarahkan umat untuk memilih Prabowo-Sandi.
Setelah ulama menemukan calon umara‘ yang berjodoh dengan umat, maka langkah selanjutnya adalah mempersatukan kekuatan diantara kekuatan politik Islam. Mulai dari ormas-ormas Islam hingga partai Islam. Lalu umat diberi pilihan dan kesepakatan itu untuk disosialisasikan.
Partai yang dianggap sebagai partai pembela agama dan ulama disatukan baik yang nasionalis maupun yang islamis. Dan kalau mau jujur dalam koalisi ini, leader bagi koalisi umat itu adalah PBB. Karena itu satu-satunya partai yang dianggap masih konsisten memperjuangkan syariat Islam.
Pandangan umat dengan penuh harap tertuju kepada PBB pada awalnya. Tentu rasa solidaritas Islamiah yang mendorong umat untuk memandang PBB terlebih dahulu sebelum partai lain yang sudah ada di parlemen. Tapi setelah PBB meninggalkan umat yang sedang menginginkan PBB masuk dalam Parlemen, siapa lagi yang akan ikut memperjuangkan PBB.
Apakah PBB tidak lagi mengharapkan umat Islam? Tentu sangat mengharapkan dan secara ideologis PBB juga adalah partai Islam. Tentu modal utama suaranya adalah umat Islam. Dan semua partai mengharapkan suara itu. Tapi apakah umat bisa dengan cuma-cuma memberikan pilihannya?
Sekarang melek politik sudah mendekati kesempurnaan di kalangan muslim Indonesia, lebih khusus lagi kaum modernis. Mereka tentu memilih berdasarkan ideologi. PBB dalam titik ini memiliki keunggulan secara ideologis.
Namun, setelah dukungan telah disampaikan dan arah politik PBB dalam pilpres sudah jelas, maka kaum modernis yang secara ideologis memiliki cita politik yang sama dengan PBB mengajukan protes. Protes Di media sosial berjibun muncul bagai jamur Di musim hujan. Mereka kecewa, dan mereka putus harapan akan kebangkitan politik Islam dengan mengandalkan partai yang katanya ideologi Islam, tapi berseberang dengan umat.
Lalu semua konten pidato, semua khutbah, semua pembicaraan di talk show itu di dibuatkan meme yang mengolok-olok karena ketidakkonsistenan kita sendiri. Bertebaran di media sosial meme itu sebagai jejak, betapa buruknya kita di mata umat dan ulama.
Semua sikap yang diperlihatkan kepada umat Islam, semua argumentasi yang dikemukakan untuk menarik simpati umat, semua ungkapan dan jalan perjuangan, serta sejarah perjalanan politik yang panjang, dibarter dengan hal yang remeh-temeh. Tukar tambah pengorbanan dan perjuangan panjang serta antusias dengan langkah yang cenderung curam dan berbahaya adalah kerugian yang fatal.
Antusiasme yang tadinya telah menarik banyak simpati dikalangan Islam, seperti FPI dan beberapa ormas Islam. Tapi kekecewaan telah mereka rasakan. Kalau seandainya FPI menarik semua kadernya, dengan menyuruh para caleg FPI yang ada di PBB untuk mundur, dan mengarahkan dukungan kepada partai koalisi 02, langkah apa yang akan dilakukan oleh PBB. Pun demikian dengan DDII, dengan realitas ini menarik dukungannya kepada PBB apa yang akan terjadi?
Setelah umat, tokoh-tokoh dan ulama kecewa, kita mencari 4% dimana? Apakah kita akan mencari di kerumunan seragam kotak-kotak? Apakah kita akan mencari dari kumpulan seragam kuning atau merah? Di sana sangat sedikit kemungkinan untuk mendapatkan dukungan, toh mereka juga sedang terjepit dalam arus pergerakan massa yang ingin melakukan perubahan.
Apakah PBB akan mencari diantara PKB dan PPP yang sedang bergeliat di kalangan nahdliyin. Di antara dua partai ini saja masih khawatir akan pemilih Islam tradisional yang kemungkinan bisa pecah dan yang sebagian mengikuti Ijtima’ Ulama. Yang seharusnya menjadi perhatian adalah kemungkinan bagi kaum tradisional dan modernis yang sudah berpihak kepada Ijtima Ulama. Yang paling menguntungkan sebetulnya bagi partai Islam yang mendukung Prabowo-Sandi adalah pemilih Islam modernis dan ideologis yang berkumpul dan bersatu, dan diantara mereka menunggu dan mengharapkan PBB.
Setelah kekuatan umat menunggu, ternyata PBB telah mengambil jalan lain, dan itu mengecewakan bagi mereka. Jadi kerugian ini kita gandakan terus menerus ditengah tantangan Parlementary Threshold yang berbiaya tinggi.
Semoga ini hanya perasaan dan analisa saya secara pribadi. Sepenuhnya segala sesuatu dan usaha berakhir dalam doa dan permohonan. Kepada Allah lah segala sesuatu dikembalikan. Semoga Allah memberikan jalan untuk Islam menjadi arus utama politik Indonesia. Wallahualam bis shawab.
Dr. AHMAD YANI, SH. MH.
Caleg DPR RI PBB Dapil DKI Jakarta 1 (Jakarta Timur)