Friday, October 11, 2024
spot_img
HomeGagasanAnies Baswedan dan Beban Revolusi Sosial

Anies Baswedan dan Beban Revolusi Sosial

Perintis program Indonesia Mengajar yang sekaligus mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan kini digadang-gadang jadi calon gubernur pada Pilkada DKI 2017 mendatang. Saat ini, Anies hanya perlu menunggu kepastian penentuan dirinya sebagai Cagub oleh koalisi Gerindra-PK di kediaman Prabowo Subianto, Jumat (23/9/2016).

 

Sekitar awal 90-an, Anies Baswedan mengundang pimpinan gerakan mahasiswa dari berbagai kampus negeri utama di Bulak Sumur Yogyakarta. Undangan ini dimaksudkan untuk revitalisasi front perjuangan mahasiswa anti Soeharto. Saat itu Anies menjadi ketua Senat Mahasiswa UGM. Saya hadir di sana sekedar pengamat, karena bukan mahasiswa lagi dan posisi saya “mendampingi” aktifis mahasiswa ITB, Wahyono (FT ITB 88) dan Noorcholis (GD ITB 88), divisi hubungan antar kampus KM ITB, yang keduanya kader saya di kampus. Dari UI hadir Chandra Hamzah dan Nadia (mantan istrinya) putri alm. Nurcholis Majid serta beberapa aktifis lainnya.

Diantara kampus dan mati surinya gerakan mahasiswa, Anies mencoba membangun kesadaran kritis berskala nasional untuk kembali melawan rezim Soeharto kala itu dan sekaligus membangkitkan kesadaran mahasiswa untuk tugas sejarahnya sebagai avant garde revolusi di negara negara berkembang.

Pada konteks ruang dan waktu saat itu, gerakan yang dilakukan Anies Baswedan, memberikan benih benih revolusioner bagi diterimanya suasana revolusioner menjelang akhir rezim Soeharto, dimana Amien Rais mendapatkan pijakan dalam aksinya. Tentu saja, gerakan mahasiswa di luar kampus UGM di Yogyakarta, merupakan fenomena nyata juga bagi suasana revolusioner saat itu. Namun, sekali lagi, munculnya sosok Amien Rais yang melawan Soeharto “face to face” sangat membutuhkan persemaian di kampusnya sendiri, yang mana Anies Baswedan memberikannya.

Apa yang saya uraikan di atas merespon dua hal penting tentang sejarah bangsa kita. Pertama, tudingan dari aktifis gerakan mahasiswa 80-an dan 90-an bahwa Anies bukan aktifis di masa lalu, seperti yang dilontarkan aktifis perempuan di Yogya, nyonya D.M Pakpahan di grup Whatsapp Indonesia Democracy (IDe) serta beberapa aktifis di grup Whatsapp Indemo (Indonesia Democracy Monitoring) sama sekali tidak benar. Orang menjadi aktifis di masa Soeharto adalah orang orang pemberani dan revolusioner serta berorientasi pada cita-cita luhur bangsa Indonesia. Karena di masa itu, pilihan menjadi aktifis tidak menjadi opsi para jiwa-jiwa penakut yang hanya mencari aman dalam kehidupan ini dan Anies memilih menjadi aktifis mahasiswa.

Kedua, apakah aktifis di masa lalu (masa mahasiswa) mempunyai peran penting bagi seseorang dalam menciptakan perubahan besar selanjutnya? Pertanyaan kedua ini selalu mengganggu pikiran saya terkait Anies Baswedan. Setelah Anies Baswedan kembali dari Amerika Serikat selama hampir 6 tahun menimba ilmu di sana, Anies terputus dari gerakan revolusionernya di masa mahasiswa. Berbagai jejak pikiran dan aksi Anies Baswedan terlihat begitu moderat dan kehilangan ruh. Meskipun moderat ini bukan berati sebuah kerusakan moral. Namun, bagi kaum aktifis, moderat di sini menunjukkan berkurangnya tingkat revolusioner gerakan tersebut. Kurang revolusioner artinya juga kurang bersifat struktural gerakan dan cita cita gerakannya.

Anies Come Back

Ernest Mandel, seorang revolusioner Eropa setengah abad lalu, menyangkal cara berpikir elit-elit partai komunis di Eropa yang meragukan revolusionaritas gerakan mahasiswa. Menurut elit-elit partai itu, mahasiswa ini hanya tercerahkan sementara saja, lalu mereka akan tamat kuliah, lalu menjadi bos perusahaan atau birokrasi dan akan segera menjadi penindas. Mandel membantah bahwa kesadaran revolusioner mahasiswa ini tentu bisa saja hilang, namun jika lingkungan revolusionernya bisa diciptakan, maka akan terjadi kontinuitas revolusionaritas mereka. Di sini, faktor eksternal atau lingkungan dianggap berperan penting dalam totalitas sikap sikap revolusioner seseorang.

Saya membaca secuil pernyataan Amin Rais bahwa Anies Baswedan “come back“: kembali ke jalan revolusioner. Hal ini diungkapkan Amien ketika acara sholat subuh berjamaah di suatu masjid di Jakarta. Ini memberikan arti pentingnya tesis Ernest Mandel terhadap pikiran dan tindakan Anies Baswedan saat ini, yang bersemai dalam suasana revolusioner.

Ada dua hal yang menurut saya begitu revolusioner dalam pikiran Anies Baswedan saat ini. Pertama, soal reklamasi. Kedua, soal perumahan tanpa down payment (DP) atau uang muka.

Baru-baru ini saya diundang tim Anies-Sandi lintas alumni perguruan tinggi berbicara mengenai persoalan reklamasi. Reklamasi adalah suatu skandal tentang power yang melibatkan uang ratusan bahkan ribuan triliun. Ariesman Podomoro sendiri sudah mengakui di pengadilan, mengeluarkan uang “illegal” untuk memuluskan proyek reklamasi cakupan atau bagian Podomoro yang bernilai triliunan rupiah. Belum lagi kelompok bisnis lainnya. Rizal Ramli terguling dari kekuasaan karena antara lain ingin menghentikan reklamasi. Bagaimana pula Anies Baswedan masuk dalam putaran isu ini: menolak reklamasi?

Dengan pikiran menolak reklamasi artinya Anies Baswedan akan melakukan perang terbuka terhadap kaum kapitalis yang menguasai kota Jakarta selama ini. Dan ini adalah perlawan terbuka dan paling revolusioner sepanjang sejarah kontemporer Jakarta, bahkan Indonesia.

Soal kedua adalah soal perumahan tanpa DP. Hal ini adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi selama kepala kita diisi oleh pikiran pikaran kaum neoliberal yang melegitimasi perampokan hak-hak orang miskin melalui instrumen perbankan. Sepanjang sejarah bangsa, hanya di bawah 15% negara mampu memberikan hak-hak rakyat atas rumah. Lalu bagaimana buruh miskin yang hidupnya bertarung dengan inflasi setiap bulan untuk survival, apakah akan mampu menyisihkan uang untuk rumah?

Dalam teori ekonomi kerakyatan dan semangat sosialisme memanjakan rakyat, negara memang ditempatkan sebagai instrument aktif untuk menyelesaikan hal-hal yang tidak mungkin terjadi dalam free market capitalism. Lihatlah bagaimana Belanda, misalnya, ketika sepanjang tahun 70-an 80-an melakukan pembangunan rumah murah secara massal dan nasional kepada kaum buruh. Itu membuat semua orang di sana saat itu akhirnya memiliki rumah.

Pikiran Anies Baswedan untuk membuat rakyat miskin Jakarta bisa memiliki rumah tanpa DP adalah cita-cita revolusioner. Hal ini memang diluar pikiran normal atau common sense (bukankah common sense itu sesungguhnya bagian dari sebuah ideologi?)

Pikiran-pikiran revolusioner Anies Baswedan sesungguhnya menunjukkan bahwa Anies tengah kembali berada dalam lingkungan revolusioner sekaligus memberikannya beban pekerjaan revolusi sosial yang besar. Revolusi sosial maksudnya perubahan besaran-besaran ke arah kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Fundamental dan bersifat struktural. Semoga!

Dr SYAHGANDA NAINGGOLAN

Direktur Sabang Merauke Circle

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular