Friday, March 29, 2024
HomeGagasanMasihkah Australia Sahabat Indonesia?

Masihkah Australia Sahabat Indonesia?

Indra J Piliang
(foto: ricardo/jppn)

Ketika membaca tangkapan layar dalam akun twitter ilmuwan Australia yang kusegani, Edward Aspinall, aku langsung bereaksi. Dalam bahasa Inggris, sesuatu yang tidak atau jarang kulakukan.

I have a monumental book given by our lecturer in Pusat Kajian Australia, Mr Richard Chauvel. Australia in my mind: Europe in the southern of Indonesian archipelago. Australian is not Asian. If Australian government forget us as their neigbour, I AM VERY UNDERSTOOD!

Apa yang ditulis Edward?

I’ve been shocked – though I suppose I shouldn’t be – by how little attention the Australian media and political class are paying to the catastrophe in Indonesia. The focus is still very much on the UK, US, Europe etc” tulisnya. Tentu, dalam menanggapi sejumlah artikel kritis yang beredar di media Australia.

Aku tentu perlu memberikan alas narasi atas celetukanku. Tentu dengan sejumlah cuitan lain. Baik, kuketik ulang, sembari memberikan bobot dalam nada artikel. Bahasa spontan dalam cuitan tentulah mengandung emosi, subjektif, dibandingkan dengan artikel yang lebih berjarak.

Setelah dianggap ikut terlibat dalam upaya kemerdekaan Timor Leste, Australia sibuk dengan potensi minyak yang berada di Celah Timor. Tak ada kekhawatiran lagi terkait komunisme, sebagaimana alasan Australia mendukung pendaratan pasukan Indonesia di Timor Timur tahun 1975. Militer Indonesia masuk ke area persaingan partai-partai politik di Timor Leste, tentu dengan mengarahkan senjata kepada Fretelin yang punya ideologi Marxisme. Indonesia, Amerika Serikat, dan Australia adalah sekutu dalam Perang Dingin. Sikap deliberatif Presiden BJ Habibie membuka opsi kepada jajak pendapat. Australia lebih memilih potensi meraup milyaran dollar di Timor Leste, ketimbang persahabatan ideologis dengan saudara tua: Indonesia.

Hubungan memburuk itu berlangsung panjang. Indonesia dalam genggaman International Monetary Fund (IMF). Ratusan perusahaan bagus, termasuk bank, dilego dalam lembaga seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Para pebisnis dan broker datang dari negara-negara tetangga. Tak terkecuali dari Australia. Dari bank hingga perusahaan telekomunikasi yang bisa jadi adalah industri strategis, berpindah tuan.

Aku banyak bertemu mereka di hotel-hotel berbintang. Jabatanku keren, asisten dari puluhan ekonom. Tentu diluar orang kantoran dengan beberapa kantor sekaligus. Kaum pebisnis dari Australia itu nongkrong di hotel-hotel berbintang lima, seperti Le Meridien dan Shangrilla.

Padahal, sebelum Timor Leste merdeka, lebih banyak kaum intelektual Australia yang datang mengajar atau meneliti di Indonesia. Begitu pula sebaliknya, kaum intelektual Indonesia yang ‘ditampung’ mengajar atau meneliti di Australia, akibat terlalu kritis kepada rezim. Di antara mereka yang datang ke Indonesia inilah yang menjadi staf pengajar di Pusat Kajian Australia, Pusat Kajian Amerika, sampai peretas awal dari feminisme, kepedulian terhadap lingkungan, dan penggugah nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Terorisme global lalu hadir di Indonesia. Celaka, mereka meledakkan bom di mana-mana yang mayoritas berisi warga negara Australia. Bom Bali dan Bom Kuningan, misalnya. Perburuan dilakukan. Pasukan terlatih dibentuk. Bantuan mengalir dari negara-negara Barat, terutama dari Australia yang banyak kehilangan nyawa warga negara mereka. Jumlah beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk belajar di Australia bertambah banyak. Berbeda dengan beasiswa negara lain, bahkan keluarga bisa dibawa. Asal bukan emak dan bapak, apalagi pacar gelap.

Misi senyap Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) tentu berubah arah: memburu para teroris Indonesia lewat orang-orang Indonesia sendiri. Padahal, dalam peristiwa PRRI-PERMESTA, ASIO bekerjasama dengan Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat dalam mendukung kelompok tentara yang ingin ‘membangun Indonesia tanpa komunis’ itu. Mereka mendirikan pangkalan di Singapura. Lalu terlibat langsung dalam mengirimkan logistik kepada pasukan PRRI-Permesta lewat laut dan udara, termasuk bantuan dalam bentuk senjata moderen dan uang.

Jadi, ketika Australia semakin menjauh dan menjauh dari Indonesia, terjadi pula perubahan politik di Australia. Pengaruh Partai Buruh yang sempat sentausa di bawah Paul Keating, memudar di Australia. Kita tahu, aktivis-aktivis yang berafiliasi dengan Partai Buruh Australia dan serikat-serikat buruh lain yang memboikot kapal-kapal perang Belanda dalam Perang Kemerdekaan, hingga konfrontasi dengan Belanda di Irian Barat.

Ditambah dengan apa yang dikenal sebagai Era Pasifik yang disahkan di Bogor. Australia secara sadar membentuk sabuk Pasifik dengan bergabung bersama sekutu-sekutu tradisional mereka yang berada dalam naungan Britania (Inggris) Raya dan Amerika Serikat. Persaingan di Pasifik — dengan China sebagai pemenang kini — begitu mengucilkan dan mengunci Australia. Dibandingkan dengan investasi Jepang, jumlah uang yang ditanamkan Australia di Indonesia masih sangat sedikit. Mulut rakyat Indonesia yang kelaparan, dan kekurangan daging, susu, hingga buah-buahan, dipasok oleh Australia.

Dan banyak cerita lainnya yang menarik. Begitu banyak. Australia adalah sahabat Indonesia paling dekat di belahan Selatan, ketika begitu banyak negara yang berada di belahan utara Indonesia yang menyeringai hendak menerkam. Australia juga simbol modernitas yang terdekat, ketika sebagian besar negara Aisa Tenggara masih belum demokratis atau setengah demokratis.

Nah, ketika pandemi Covi-19 merajalela, Indonesia mengalami serangan yang begitu buruk pascalebaran. Sikap cuek pemerintah Australia bagi kaum intelegensia Australia tentu membuat rasa sok yang mengejutkan. Sebut saja, ketika Indonesia jatuh tak berdaya dalam malapetaka kemanusiaan terbesar abad ini, giliran virus-virus yang terus bermutasi itu dengan riang gembira menuju benua Australia. Indonesia adalah pintu pertahanan terakhir bagi Australia, dalam strategi perang konvensional, ataupun perang menghadapi virus ini.

Keterkejutan kaum intelektual Australia tak berlangsung lama. Dalam hitungan hari, pemerintah Australia bersikap luar biasa. Sejumlah skema bantuan dipersiapkan. Parlemen Australia dengan cepat memberikan persetujuan. Hubungan tali darah dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, ternyata tak mengikat kuat. Jalinan bertentanggalah yang menjadikan Australia ikut bersiap berburu virus-virus ukuran kecil itu. Populasi virus harus benar-benar dikurangi dengan segera, dilumpuhkan. Sebab, jangankan virus. Ketika belalang-belalang asal Indonesia sempat berhasil menyeberang ke Australia, kepanikan melanda negara kanguru itu.

Semangat kaum buruh pelabuhan Australia di masa lalu, masih hinggap di dalam tubuh pemerintahan sekarang. Tentu, aku merindukan lebih dari itu. Upaya mempererat hubungan Indonesia – Australia semakin penting, kalau bisa dalam bentuk cap darah. Pertukaran pelajar, mahasiswa, olahragawan, seniman, pun film, adalah bentuk-bentuk yang masih bisa ditingkatkan dalam jumlah, begitu juga dalam kualitas.

Tak mungkin seorang kadi bisa lupa terhadap proses perkawinan yang ia awasi sejak awal. Begitu pula dengan status Australia dalam Komisi Tiga Negara, tak ada tinta yang bisa menghapus dalam riwayat hubungan kedua negara.

Jakarta, 8 Juli 2021

INDRA J PILIANG
Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular