JAKARTA – Seperti diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana mengenakan cukai plastik, yang akan ditimpakan pada pelaku usaha, sebesar Rp. 200,- per lembar atau Rp. 30.000,- per kilogram. Tentu saja rencana ini menimbulkan pro kontra. Kalangan pelaku usaha, bahkan Kementerian Perindustrian, menolaknya.
Namun, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingat dampak negatif yang ditimbulkan, baik bagi penggunanya, orang lain dan lingkungan, maka plastik pantas dikenai cukai.
Ketua pengurus harian YLKI, Tulus Abadi menyatakan bahwa dari data Bank Dunia pada tahun 2018 sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya dan saat ini sekitar 150 juta ton plastik mencemari lautan dunia.
“Tragisnya, Indonesia menjadi negara pencemar kedua terbesar di dunia setelah China. Indonesia menyumbang 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan. Oleh karenanya, jika tidak ditanggulangi secara secara menyeluruh, sampah plastik akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang semakin parah, dan merugikan kita semua,” papar Tulus dalam keterangannya kepada pers, Sabtu (6/7/2019) pagi.
Namun demikian, Tulus menambahkan bahwa cukai bukanlah satu-satunya cara untuk menekan dan mengendalikan penggunaan dan konsumsi plastik. Menurutnya, kalau tidak disinergikan dengan kebijakan lain, maka konsumsi plastik akan tetap dominan, sekalipun telah dikenai cukai yang tinggi pula.
“Penerapan cukai plastik harus menjamin bahwa tujuan utamanya bukan untuk menggali pendapatan negara. Jangan jadikan cukai plastik untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam menggali pendapatan di sektor pajak,” tegas Tulus.
Karena itu, Tulus berharap cukai plastik justru diarahkan sebagai instrumen untuk mengendalikan produksi dan konsumsi plastik. Jadi menurutnya, pendapatan cukai hanya sebagai bentuk “pajak dosa” atau disinsentif pada produsen dan konsumen.
YLKI mendorong Pemerintah agar ke depan produsen wajib membuat produk plastik yang benar-benar bisa diurai secara cepat oleh lingkungan, apa pun produk plastiknya. “Setelah mereka bisa produksi jenis tersebut maka cukai plastik harus dihentikan,” tegasnya.
Cukai Plastik Dipakai Untuk Edukasi Publik
Sementara itu, YLKI mendesak agar dana yang diperoleh dari cukai plastik harus dikembalikan untuk upaya promotif dan preventif, misalnya program edukasi dan pemberdayaan agar masyarakat mempunyai kesadaran untuk mengurangi konsumsi plastik. “Bisa diambilkan sekitar 10% dari dana cukai plastik itu nantinya untuk program edukasi tersebut,” tambah Tulus.
YLKI juga mendorong pemerintah untuk serius menanggulangi masalah plastik, dari hulu hingga hilir. Menurut Tulus, pemerintah mewajibkan adanya produk plastik yang mengantongi SNI dan bisa mengintegrasikan kebijakan pengendalian konsumsi plastik oleh konsumen, termasuk masalah plastik berbayar yang saat ini belum jelas arah dan regulasinya.
Terakhir, YLKI meminta Kementerian Perindustrian untuk tidak secara telanjang menjadi corong pelaku usaha, dengan menolak wacana cukai plastik, tanpa argumen yang rasional.
“Sudah jelas kok bahwa peran sektor industri tidak bisa dinegasikan, apalagi dimatikan. Tetapi sektor industri harus kreatif untuk memproduksi plastik yang tidak merusak lingkungan dan bahkan punya tanggung jawab menyelamatkan lingkungan. Jangan malah makin destruktif terhadap lingkungan,” tandasnya.
(bm/bti)