
Alhamdulillah. Pagi ini terasa segar dan penuh syukur. Saya dan istri bisa bermalam di hotel yang sangat dekat dengan Masjidil Haram. Begitu dekat hingga shalat lima waktu terasa ringan untuk dijalani di rumah Allah yang megah dan mengangeni ini.
Meski tubuh menyimpan letih dari rangkaian Armuzna sebelumnya, semua itu seolah musnah saat kaki melangkah ke pelataran Haram. Letih itu justru berubah menjadi penyemangat, mengalirkan energi baru untuk terus hadir. Bukan hanya secara jasmani, tapi juga rohani.
Pagi ini, Subuh, sama petugas diarahkan naik ke lantai paling atas Masjidil Haram. Tempat yang lebih tenang, lebih lapang, dan terasa lebih dekat ke langit.
Di sana, selepas Subuh saya membuka mushaf. Bukan untuk mencari ayat tertentu, tapi meneruskan tilawah yang tercatat di hp. Saya membiarkan tangan dan hati dipandu oleh takdir Allah.
Dan di situlah saya membaca QS Al-Ma’idah ayat 2. Bukan kebetulan, tapi seolah sapaan langit.
“…Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum karena mereka menghalangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu untuk berbuat aniaya (melampaui batas)…” (QS Al-Ma’idah: 2)
Ayat ini seperti pelita di pagi buta. Menyinari sisi-sisi jiwa yang mungkin belum selesai berdamai.
Ketika Perjalanan Haji Menguji Bukan Hanya Fisik, Tapi Hati
Hari-hari sebelumnya, kami diuji: tertahan di bus, kehilangan tenda, terlempar dari rencana. Tapi ayat ini datang bukan untuk menyalahkan siapa pun. Ia datang untuk menjaga hati agar tidak tergelincir pada kebencian atau balasan yang setimpal.
Saya lanjut membaca, dan menemukan sambungannya pada QS Al-Ma’idah ayat 8, seolah menjadi pasangan sempurna:
“…Dan janganlah kebencian suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (QS Al-Ma’idah: 8)
Dua ayat ini seperti dua sisi cermin: yang satu memantulkan wajah kesabaran, yang satu mengajak menata ulang sikap keadilan.
Di Mana Keadilan, Di Sana Takwa
Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk menahan amarah, tapi juga untuk menjadi penegak keadilan. Bahkan terhadap orang yang mungkin menyulitkan kita. Karena itulah takwa yang sejati. Takwa yang bukan hanya bersemayam di sajadah, tapi hidup dalam relasi antarmanusia.
Pagi itu, lantai atas Masjidil Haram menjadi saksi. Bahwa nilai-nilai besar seperti sabar, adil, dan takwa tidak hanya ditulis di buku-buku, tapi harus dihidupkan. Dimulai dari hati yang bersih dan niat yang lurus.
Momentum yang Mendekatkan
Jika suatu hari ada yang bertanya,”Apa yang paling berkesan dari haji 2025?”
Maka saya akan menjawab, bukan hanya tenda di Arafah, bukan hanya bermalam di Muzdalifah di tengah malam tanpa kasur, bukan hanya berjalan hampir sepuluh kilometer dari Muzdalifah ke Mina dengan membawa pembekalan dua tas, bukan hanya mengenakan ihram dalam kondisi fisik yang menurun, bukan hanya malam-malam panjang di Mina dan melempar jumrah dengan sisa tenaga, tapi juga Subuh yang tenang di lantai paling atas Masjidil Haram. Bersama dua ayat yang membisikkan ke dalam hati. Tetaplah adil meskipun lelah, dan jangan membalas meskipun kecewa.
Inilah haji yang mendidik. Bukan sekadar tempatnya, tapi momentumnya.Dan setiap momentum yang menyadarkan hati untuk kembali kepada Allah, itulah momen yang paling layak disebut sebagai bagian dari perjalanan menuju kemabruran.
FIRMAN ARIFIN
Dosen PENS dan Jamaah Haji 2025 Kloter 92 Nurul Hayat