
Haji sebagai Arah: Menata Hidup agar Terarah ke Surga
اللَّهُمَّ حَجًّا مَبْرُورًا، وَسَعْيًا مَشْكُورًا، وَذَنْبًا مَغْفُورًا، وَعَمَلًا صَالِحًا مَقْبُولًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا وَاسِعًا، وَتِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami haji yang mabrur, sa’i yang disyukuri, dosa yang diampuni, amal saleh yang diterima, rezeki yang baik dan luas, dan perniagaan yang tidak merugi.
Tulisan ini adalah seri terakhir dari rangkaian Doa-Doa Menuju Haji Mabrur. Sebuah refleksi doa yang kami panjatkan sepanjang perjalanan haji. Dari Arafah, Muzdalifah, Mina, hingga kembali ke Makkah.
Namun akhir seri ini bukan berarti akhir dari perjalanan. Justru sebaliknya, ini menjadi pintu awal menuju fase hijrah.
Per 1 Juli 2025, kami berpindah dari Makkah ke Madinah. Dari puncak ibadah ke masa perenungan dan pembelajaran. Dari wukuf di Arafah menuju jejak Rasulullah di Masjid Nabawi. Maka setelah seri doa-doa ini, insyaAllah tulisan berikutnya akan menghadirkan hikmah dari Madinah, dari jejak Nabi, dari napas hijrah yang penuh arah dan cinta.
Arah Itu Penting
Saya masih ingat, saat duduk di bangku SD di Pamekasan Madura saat kelas 1 atau 2, ada sebuah pertanyaan di kelas:
“Kalau kita sholat, menghadap ke mana?”
Saya dengan yakin menjawab: “Barat!”
Tapi ternyata, guru saya berkata:
“Yang benar, bukan barat, tapi kiblat.”
Saya bingung, padahal di Indonesia arah kiblat memang ke barat. Tapi di situlah saya belajar satu hal penting:
Arah bukan soal titik kompas, tapi soal tujuan.
Kiblat adalah arah spiritual. Ia bukan sekadar koordinat, tapi orientasi jiwa. Itulah yang kita bawa dalam haji.
Jangan Hanya Sampai Mekah, Tapi Sampai Tujuan
Ibarat naik kendaraan, tujuan bukan berhenti di Mekah, tapi menuju surga. Haji hanyalah terminal transit, bukan pemberhentian akhir. Yang menentukan bukan apakah kita sudah menunaikan rukun, tapi apakah kita berubah dan pulang dengan arah baru.
Allah memberi janji:
“Barangsiapa mengarahkan wajahnya kepada Allah, maka Allah akan mengarahkan segalanya untuknya.”
(QS Al-Baqarah: 45)
Maka jangan sampai kita pulang dari haji, tapi tetap membawa arah hidup yang sama seperti sebelum berangkat.
Haji: Kalibrasi Arah Hidup
Seperti kompas, haji berfungsi mengoreksi arah. Seperti GPS spiritual, ia memberi navigasi ulang agar kita tak tersesat dalam rutinitas dunia. Namun, kompas hanya berguna jika dibaca. Dan GPS hanya menuntun jika kita mengikuti arahannya.
Haji akan sia-sia jika tidak terhubung dengan wahyu, tidak dilanjutkan dengan amal saleh, dan tidak menjadikan kita lebih jujur, lebih bersih hati, lebih siap memberi.
Dari Lafaz ke Arah Hidup
Coba kita renungi satu per satu permohonan dalam doa ini:
1. Haji Mabrur, sebagai arah ibadah
2. Sa’i Masykur, sebagai arah usaha
3. Dosa yang Diampuni, sebagai arah pembersihan
4. Amal yang Diterima, sebagai arah amal
5. Rezeki yang Baik dan Luas, sebagai arah finansial
6. Perniagaan yang Tak Merugi, sebagai arah kebermanfaatan
7. Dan semua itu bermuara pada satu hal: ke mana hidup ini diarahkan?
Jika hidup ini hanya tentang bekerja, mendapatkan uang, lalu habis dengan rutinitas dunia, maka bisa jadi kita hanya berputar tanpa arah. Haji seharusnya memberi arah yang lebih tinggi: menuju Allah.
Kompas Spiritual
Haji bukan trofi. Bukan gelar. Tapi kompas.
Agar kita tahu:
Ke mana seharusnya melangkah,
Dengan siapa harus berjalan,
Dan untuk siapa semua ini dilakukan.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ حَيَاتَنَا بَعْدَ الحَجِّ أَفْضَلَ مِن قَبْلِهِ
Ya Allah, jadikanlah hidup kami setelah haji lebih baik dari sebelumnya.
Semoga doa-doa ini tak hanya mengiringi perjalanan fisik ke Tanah Suci, tapi juga mengalir menjadi arah dan cahaya dalam seluruh kehidupan.
Dan semoga hijrah ke Madinah ini mempertemukan kita dengan keteladanan Nabi, meneguhkan hati untuk terus berjalan menuju Allah, dengan cinta.
FIRMAN ARIFIN
Dosen PENS dan Jamaah Haji 2025 Kloter 92 Nurul Hayat



