
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Tak sedikit orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengejar karier, membangun rumah, menabung, hingga berinvestasi dalam bentuk aset dan saham. Namun ketika masa pensiun tiba, banyak yang baru menyadari: ternyata yang paling penting justru bukan hanya uang, melainkan kesehatan, ketenangan batin, dan kedekatan dengan pasangan serta Tuhan.
Itulah yang kini dirasakan Anton dan Mira, pasangan suami istri yang sebentar lagi memasuki usia 55 tahun, usia pensiun normal di tempat mereka bekerja. Selama puluhan tahun, Anton bekerja sebagai manajer di perusahaan swasta, sementara Mira menjadi manajer sumber daya manusia di kantor berbeda. Keduanya larut dalam kesibukan dunia kerja, hingga lupa bahwa masa pensiun bukan sekadar soal berhenti bekerja.
“Aku ngerasa kayak bukan siapa-siapa sekarang di kantor, Mir,” ujar Anton saat menatap halaman rumahnya suatu sore. Mira tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, merasakan hal yang sama. Dulu sibuk urusan pekerjaan dan orang lain, kini justru merasa asing pada diri sendiri.
Menurut Ketua Dewan Pengawas DPLK SAM, Syarifudin Yunus, pengalaman seperti yang dialami Anton dan Mira sebenarnya dialami banyak pekerja profesional. “Mereka baru sadar bahwa pensiun bukan hanya soal dana pensiun atau pesangon. Tapi juga soal kesiapan psikologis, kesehatan fisik, dan kebugaran spiritual,” jelasnya, Senin (30/6/2025).
Banyak pekerja yang sukses secara finansial, tapi tidak mempersiapkan mental untuk hidup setelah pensiun. Seperti Anton dan Mira, yang mengaku tubuh mereka mulai sering mengeluh: pegal, mudah lelah, kurang semangat. “Kami lupa olahraga, lupa istirahat. Hidup hanya soal kerja dan kerja. Bahkan lupa bersyukur,” ujar Mira.
Kini, menjelang masa pensiun, mereka mulai memaknai ulang hidup. Di sebuah sore yang mendung, keduanya berjalan kaki berdua. Mira mengusulkan mencoba yoga, sementara Anton ingin mulai latihan angkat beban ringan. Tawa mereka pecah, tawa yang mungkin sudah lama tenggelam dalam hiruk-pikuk karier.
Syarifudin menyebut momen itu sebagai titik balik. “Pensiun seharusnya bukan dianggap akhir kehidupan. Justru ini fase baru untuk berbenah. Mulai menata pola hidup sehat, memperkuat ikatan dengan pasangan, hingga memperdalam nilai-nilai spiritual,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa banyak orang lupa berinvestasi pada diri sendiri. “Semua fokus ke rumah, deposito, saham, kendaraan. Tapi lupa bahwa tubuh ini juga perlu dirawat. Jiwa butuh kedamaian. Hubungan butuh pemeliharaan. Dan iman, butuh ditumbuhkan,” tuturnya.
Kesadaran ini menjadi penting di tengah meningkatnya usia harapan hidup masyarakat Indonesia. Bila masa pensiun tidak disiapkan secara holistik, yang muncul adalah rasa kehilangan, kesepian, bahkan krisis identitas.
“Sudahkah kita siap pensiun? Bukan hanya secara keuangan, tapi juga secara hati, tubuh, dan jiwa?” tanya Syarifudin. Ia mengajak masyarakat untuk mulai merancang pensiun sejak dini, bukan hanya dengan menabung, tetapi juga dengan menjaga kesehatan, membangun relasi yang berkualitas, dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Anton dan Mira kini mulai menjalani hari dengan lebih tenang. Mereka mengisi waktu dengan olahraga ringan, membaca, serta kegiatan sosial dan spiritual. Bagi mereka, pensiun adalah momen untuk kembali menjadi sahabat sejati satu sama lain. Bukan sekadar suami istri yang tinggal serumah, tetapi pasangan yang saling menuntun menuju kebaikan dan ketenangan.
Karena pada akhirnya, bukan jabatan atau penghasilan yang akan menemani kita di masa tua. Tapi tubuh yang sehat, hati yang lapang, iman yang kuat, dan seseorang yang setia duduk di samping, menemani hari-hari hingga senja benar-benar tiba. (*)
Editor: Abdel Rafi



