Monday, November 24, 2025
spot_img
HomeGagasanParadoks Zohran

Paradoks Zohran

Orang bilang, “kalau mau tahu siapa yang paling cinta rakyat, lihatlah siapa yang paling rajin bicara tentang kemiskinan tapi tak pernah mengalaminya.” Nah, muncullah nama yang sedang dielu-elukan media Amerika dan kalangan muda kiri di seluruh dunia: Zoran Mamdani.

Sosok yang katanya “the people’s leader” ini dielukan sebagai pemimpin kaum jelata yang naik ke panggung kekuasaan dengan janji keadilan sosial dan politik baru. Tapi, eits. Di balik senyum kalem dan retorika revolusioner yang manis seperti iklan kopi organik, tersimpan aroma mewah yang diam-diam lebih harum dari parfum kelas sultan.

Mari kita kuliti perlahan. Zoran bukan anak pinggiran Bronx yang tumbuh di bawah kolong jembatan sambil bermimpi jadi presiden. Ia lahir di Kampala, Uganda, tahun 1991, di keluarga yang kalau mau dibilang “sederhana”, mungkin sederhananya setara dengan rumah peristirahatan raja Afrika.

Ayahnya, Mahmood Mamdani, seorang intelektual besar dunia  seperti profesor, penulis, dan figur penting di ranah akademik Afrika. Ibunya, Mira Nair, sutradara kondang dengan film-film yang memboyong nama India dan Afrika ke layar Hollywood, bersama aktor kaliber Denzel Washington.

Jadi, dari kecil Zoran sudah terbiasa bermain dengan kamera, buku, dan ide bukan dengan layangan plastik atau bola bekas.

Ia pindah. Tepatnya pindah negara, dari Cape Town ke New York, dari sekolah elite ke sekolah elite lainnya. Anak ini bukan hasil dari keajaiban kesempatan, tapi produk dari privilese yang sudah dibungkus dengan pita ideologis bernama “kesadaran sosial”.

Hebatnya, bahkan nama tengahnya pun punya cita rasa revolusioner yakni “Kwame” yang mengambil dari nama pemimpin revolusi Ghana, Kwame Nkrumah. Di rumahnya, diskusi soal rasisme dan ketimpangan ekonomi jadi percakapan sehari-hari, mungkin setara dengan obrolan ibu-ibu kompleks soal harga sembako.

Tapi tentu, privilege bisa melahirkan dua macam anak: yang satu tumbuh jadi pewaris kekuasaan; yang satu lagi jadi pemberontak intelektual yang sadar posisi. Zoran termasuk yang kedua.

Ia kuliah di Bowdoin College, jurusan Africana Studies (tentu saja), ikut mendirikan gerakan “Students for Justice in Palestine” dan menjadikan politik kampus sebagai tempat latihan mengasah taring.

Dari situ, idealisme mulai bersemi dan siapa sangka, kelak ia tumbuh jadi wali kota New York termuda sejak abad ke-19. Anak imigran Muslim, keturunan India-Afrika, duduk di kursi tertinggi kota paling mahal di dunia. Ya, kisah ini memang terlalu indah untuk tidak disorot Netflix.

Tapi jangan buru-buru meleleh. Sebab di dunia politik, setiap kisah heroik biasanya punya bab “plot twist” yang menggoda. Zoran yang katanya hidup sederhana ternyata hidup dalam gaya yang, ya sederhana menurut Forbes, bukan menurut warga Queens yang masih berjuang membayar sewa apartemen.

Ia memang tak pamer jam tangan emas, tapi jangan lupa: kesederhanaan pun bisa jadi kemewahan, bila dikurasi dengan baik. Katanya, saat kampanye ia disiapkan oleh stylist ternama tarifnya $10.000 sekali dandanan. Konon karena “penampilan juga politik.” Nah, di sini rakyat mulai bingung: ini masih perjuangan kelas, atau audisi “America’s Next Top Mayor”?

Dan bicara soal keluarga —ah, di sinilah dunia jadi lebih hangat. Di balik setiap orator revolusioner, biasanya ada satu sosok yang lebih tenang tapi tak kalah berpengaruh.

Istrinya, Rama Duwaji, seorang ilustrator yang menata estetika kampanye Zoran dengan warna-warna yang menggugah mata mulai kuning, jingga, dan hingga biru, simbol gerakan rakyat, tapi dengan cita rasa galeri Dubai.

Ya, karena memang Rama tumbuh di sana. Ia anak keluarga berada asal Suriah, lahir di Texas, kuliah di Virginia Commonwealth University, dan sempat mengajar di Qatar.

Singkatnya, pasangan ini bukan pasangan yang bertemu di dapur perjuangan, tapi di Hinge, aplikasi kencan. Ironis? Justru romantis di zaman digital. Dua anak diaspora, dipertemukan algoritma, lalu menikah mewah di Dubai, pernikahan sipil yang katanya “sederhana tapi elegan.”

Tentu, rakyat mencintai kisah cinta yang manis. Tapi di balik itu, muncul bisik-bisik: “apakah ini cinta dua aktivis, atau aliansi dua pewaris privilese global?” Sebab, gaya hidup mereka tak sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai “kaum buruh” yang kerap Zoran bicarakan.

Rumah keluarga di Uganda? Sebuah kompleks megah dekat Sungai Nil, lengkap dengan penjaga bersenjata dan tarif Airbnb seribu dolar per malam. Liburan pasca kemenangan ke Puerto Rico, menginap di Hilton tujuh ratus dolar semalam. Mungkin bagi rakyat biasa itu kedengaran seperti pamer, tapi bagi Zoran, itu sekadar “me time revolusioner.”

Net worth-nya? Katanya cuma $300.000. Tapi jangan lupa, harta kadang bukan soal angka, tapi akses. Akses ke ruang, ke jejaring, ke dunia yang bagi kebanyakan orang, cuma bisa ditonton dari luar pagar. Dan kalau ayah-ibunya digabung, kekayaan keluarga mencapai $20 juta.

Maka, ketika ia bicara tentang “keadilan sosial”, orang bisa saja kagum, tapi juga geli: seperti melihat bangsawan turun ke pasar untuk memborong tempe sambil berkata, “Saya bersama rakyat.” Khas gaya New Yorker.

Namun jangan salah. Bukan berarti idealismenya palsu. Justru mungkin karena lahir di tengah kemewahan itulah, Zoran tahu betapa timpangnya dunia ini. Ia bukan penipu, tapi paradoks yang hidup, paduan antara kapital dan kesadaran sosial, antara Vogue dan Marx.

Zohran bukan orang miskin yang berjuang jadi kaya, tapi orang kaya yang berusaha mengerti kemiskinan tanpa kehilangan rasa nyaman.

Pertanyaannya kini bukan apakah Zoran Mamdani tulus atau palsu. Tapi apakah dunia ini masih memberi ruang bagi seorang sosialis yang lahir dari kemewahan untuk bicara tentang kesetaraan tanpa ditertawakan?

Apakah seorang anak elite boleh memihak rakyat tanpa dianggap “pura-pura miskin”? Atau jangan-jangan, di abad ini, hanya mereka yang punya privilese yang cukup aman untuk bersuara menentang sistem?

Kita boleh sinis, boleh kagum, boleh curiga. Tapi satu hal pasti bahwa Zoran Mamdani adalah cermin zaman kita, zaman dimana kapitalisme sudah begitu dalam merasuk, sampai-sampai revolusi pun kini punya manajer gaya hidup.

AHMADIE THAHA (Cak AT)

Wartawan Senior 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular