
Anda suka nongkrong di Starbucks? Menikmati kopi sambil menyeruput kemanusiaan yang katanya ikut larut dalam latte? Kalau Anda manusia, dan Anda masih ingin kemanusiaan itu tetap utuh, mungkin ada baiknya menimbang ulang langkah Anda sebelum masuk ke kedai bersirip duyung itu.
Bukan apa-apa, perusahaan ini sedang dilanda tuduhan tidak manusiawi dalam memperlakukan barista-baristanya yang setahu saya, masih termasuk spesies manusia. Seruan ini bukan datang dari saya, melainkan menggema hampir sepekan penuh dari Zohran Kwami Mamdani, dari pusat Starbucks di Amerika.
Bayangkan, kampanye itu datang dari walikota terpilih New York, yang namanya saja menggetarkan Donald Trump di Gedung Putih. Jika kopi bisa menyimpan jejak rasa, pertanyaannya kini: apakah kemanusiaan kita ikut masuk ke dalam setiap tegukan? Atau jangan-jangan yang ikut larut cuma rasa bersalah?
Sebelum insiden terbaru gara-gara suara lantang si Zohran ini, Starbucks memang sudah megap-megap akibat aksi boikot besar umat Islam sedunia. Kita masih ingat bagaimana merek itu ikut terseret dalam gelombang protes atas dukungannya terhadap aksi brutal Israel kepada rakyat Palestina.
Lagi-lagi soal kemanusiaan. Lagi-lagi soal nyawa. Dan lagi-lagi kita dipaksa bertanya: apakah bisnis bisa netral di tengah genosida? Rasanya sama absurdnya dengan menjual payung ketika langit sedang runtuh, tetap ada pembeli, tapi salah satu sisinya pasti tidak beres.
Lalu tibalah Zohran, bukan sebagai barista kehormatan, tetapi sebagai juru tabuh genderang moral. Melalui kanal X-nya yang pengikutnya jutaan itu, ia mengajak publik untuk tidak membeli Starbucks selama para pekerja sedang mogok nasional menuntut kontrak kerja yang adil.
Dengan bahasa yang sederhana tapi pedas, tokoh yang dituduh komunis oleh Trump itu menyelipkan slogan yang membuat manajer korporat mungkin mendadak sakit lambung: “No contract, no coffee.” Sungguh punchline yang mampu membuat robusta pun tersedak.
Zohran Mamdani bukan pendatang baru dalam dunia aktivisme perburuhan. Ia mengaku diri sebagai sosialis secara terbuka dan blak-blakan, tapi tetap rajin meneguhkan komitmennya pada hak pekerja, berkawan pula dengan nama-nama top seperti Elizabeth Warren dan Lina Khan.
Di negeri Paman Sam yang kapitalismenya kadang lebih keras dari batu es di kutub, keberadaan figur seperti Zohran membuat peta politik bergetar halus mirip mesin espresso yang siap memuntahkan tekanan. Dan tekanan itu langsung terasa di seantero semesta.
Aksi mogok ini digerakkan oleh Starbucks Workers United, dipilih dilaksanakan pas pada momen Red Cup Day, hari yang biasanya menjadi festival kecil bagi bisnis Starbucks. Lebih dari seribu pekerja ikut turun, 65 kedai langsung terdampak, dan potensi perluasan mencapai 500 toko.
Tapi apa kata perusahaan yang tokonya hampir 17.000 itu? Tenang saja, mereka bilang. Semuanya baik-baik saja. Mereka bahkan mengklaim Red Cup Day tahun 2025 adalah yang terbaik, melampaui ekspektasi penjualan, dan 99% toko tetap buka. Itu klaim mereka.
Jawaban ala korporasi ini, bagi kita, tentu terdengar seperti reaksi dari orang yang bilang “saya tidak apa-apa” padahal kaki sedang disengat lebah. Indikasi bahwa angka kadang tidak mematikan rasa tapi sering dipakai untuk membungkamnya.
Di sisi lain, sejumlah kedai Starbucks di banyak kota di Amerika yang sudah berserikat mengaku mengalami retaliasi, bahkan penutupan, tanda aksi boikot tak main-main. Persis drama klasik hubungan cinta toksik: katanya mendukung, tapi kok makin banyak luka?
Pertanyaannya kini kembali pada kita, yang sering menjadikan kopi sebagai simbol kehadiran sosial. Ketika barista yang membuatkan minuman Anda sedang berjuang agar tidak diperlakukan seperti robot otomatis, apakah kita masih tetap nyaman menyeruput kopi sambil mengobrol tentang kemanusiaan?
Ketika Palestina terbakar, dan Starbucks sebagai perusahaan memilih memunggungi tragedi itu, apakah kita masih ingin duduk di sofa empuk dan leha-leha minum caramel macchiato tanpa merasa kursinya mengeras pelan-pelan? Sebuah sikap yang anti-kemanusiaan.
Dunia selalu memberi kita kesempatan untuk memilih. Kadang sederhana seperti memilih ukuran cup. Kadang serumit memilih keberpihakan moral. Dan mungkin di sinilah tantangan terbesar kita: menjadikan kemanusiaan bukan sekadar toping tambahan, melainkan inti dari setiap keputusan.
Pada akhirnya, barangkali kopi bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang apa yang kita pilih untuk ikut terlarut di dalamnya: kepedulian atau kealpaan, kemanusiaan atau kebinatangan. Dari dua itu, yang manakah yang paling pahit?
AHMADIE THAHA (Cak AT)
Wartawan Senior



