Monday, November 24, 2025
spot_img
HomeEkonomikaGuru Besar Unair: Standar Miskin Ala BPS Tak Lagi Relevan!

Guru Besar Unair: Standar Miskin Ala BPS Tak Lagi Relevan!

Ilustrasi. (gambar: Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Dua puluh empat juta atau seratus sembilan puluh juta? Di atas kertas, angka itu menyebut jumlah warga miskin di Indonesia. Namun di balik selisih besar itu, ada satu pertanyaan mendasar yang mengemuka: apa makna hidup layak di negeri ini?

Awal Juni lalu, Bank Dunia merilis data kemiskinan global berdasarkan standar purchasing power parity (PPP) 2021. Hasilnya, lebih dari 190 juta warga Indonesia tergolong miskin secara global. Sementara itu, versi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut hanya sekitar 24 juta penduduk yang dikategorikan miskin pada 2024.

Perbedaan tajam ini memicu perdebatan di ruang-ruang akademik dan kebijakan. Sebagian menyebutnya alarm bagi pemerintah untuk merevisi definisi kemiskinan yang selama ini digunakan.

Salah satu suara kritis datang dari Rossanto Dwi Handoyo, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), Surabaya. Baginya, perdebatan ini bukan sekadar angka, melainkan soal martabat manusia.

“Perhitungan 2.100 kalori yang digunakan BPS untuk menetapkan garis kemiskinan sudah tidak lagi relevan. Itu standar lama, yang tidak mempertimbangkan perubahan zaman,” ujar Rossanto saat ditemui di Kampus B Unair, Senin (16/6/2025) lalu.

Menurutnya, standar kemiskinan seharusnya berbicara soal kehidupan yang layak, bukan sekadar bertahan hidup. “Miskin tapi tidak layak, itu sama saja perlahan menuju kematian,” tambahnya.

Rossanto menjelaskan, selama ini pendekatan penghitungan kemiskinan oleh BPS dibagi dua: kebutuhan makanan dan nonmakanan. Seseorang disebut miskin jika pengeluarannya tak mencukupi untuk kebutuhan minimal kalori dan kebutuhan dasar lain seperti sandang, papan, pendidikan, dan transportasi.

Guru besar FEB Unair, Prof. Dr. Rossanto Dwi Handoyo, SE, M.Si., Ph.D. (foto: Unair for Cakrawarta)

Namun, realitas telah berubah. “Sekarang, internet adalah kebutuhan pokok. Tanpa koneksi, anak tak bisa belajar, pekerja tak bisa mencari kerja, bahkan layanan publik pun makin banyak berbasis digital,” kata dia.

Rossanto menilai sudah saatnya pemerintah memperbarui pendekatan dalam menyusun garis kemiskinan. Bukan untuk memperburuk citra, tapi agar kebijakan sosial menjadi lebih akurat dan tepat sasaran.

“Kalau kita jujur mengatakan bahwa kita belum mampu memberikan kehidupan layak pada semua warga, itu bukan aib. Itu justru langkah awal menuju keadilan,” ucapnya.

Rossanto mengingatkan, keadilan sosial tidak lahir dari kebanggaan semu atas angka statistik. Ia lahir dari keberanian negara memperlakukan setiap warga dengan cara yang manusiawi.

“Kita jangan bangga menyebut diri sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, tetapi masih memakai standar negara termiskin dalam memperlakukan rakyatnya,” ujarnya tegas.

Perdebatan tentang angka kemiskinan memang belum selesai. Tetapi dari sini, pelajaran penting bisa dipetik: kemiskinan bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan soal cara negara menghargai hidup warganya.(*)

Editor: Tommy dan Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular