Saturday, June 21, 2025
spot_img
HomePolitikaWahabisme Lingkungan dan Kitab Suci Ekskavator: Tafsir Baru Kapitalisme Religius

Wahabisme Lingkungan dan Kitab Suci Ekskavator: Tafsir Baru Kapitalisme Religius

ilustrasi. (gambar: Cakrawarta)

Catatan Rabu Redaksi

Di negeri yang sedang ramai-ramainya digali dan diseru-serukan untuk dibangun, kita kini punya tafsir baru yang sangat revolusioner: menjaga lingkungan secara ekstrem adalah bentuk Wahabisme. Ya, Anda tidak salah baca. Aktivis lingkungan kini tak ubahnya kaum puritan Salafi, yang dianggap terlalu tekstual memahami “kitab suci lingkungan”: Undang-Undang Lingkungan Hidup, hasil riset IPCC, atau bahkan amanat konstitusi soal hak atas lingkungan yang sehat.

Yang menyatakan ini bukan sembarang tukang bual di warung kopi. Ini datang dari Ulil Abshar Abdalla atau yang akrab disapa Gus Ulil, seorang intelektual publik, tokoh agama progresif, dan ikon intelektual Nahdlatul Ulama yang tampaknya kini juga mulai “Naik Haji ke Kapitalisme.” Ketika menghadapi Iqbal Damanik, seorang aktivis Greenpeace, Gus Ulil menyatakan bahwa menjaga lingkungan secara ekstrem adalah bentuk Wahabisme, dan bahwa “pembangunan adalah hak fundamental.” Sebuah pernyataan yang jika dikutip oleh korporasi tambang, bisa terdengar seperti wahyu ke-115: “Gali dan Bangunlah, karena itu hakmu yang paling asasi!”

Tentu saja, para jamaah korporasi langsung menyambut ini dengan suka cita. Bayangkan, kini mereka punya fatwa baru untuk menggali bumi tanpa rasa bersalah: bukan sekadar bisnis, tapi bagian dari ibadah dan penegakan hak asasi. Tambang bukan lagi sumber kerusakan ekologis, tapi ladang pahala karena “membangun adalah hak fundamental.” Betapa suci dan nikmatnya berbisnis di negeri yang ulama dan ekskavator bisa duduk satu forum dan saling mengafirmasi!

Dalam diskursus politik agama, Gus Ulil memang tampak sangat Marxian. Seperti kata Karl Marx, agama adalah candu -dan Gus Ulil tampaknya telah menemukan formula candu yang sempurna: membungkus akumulasi modal dalam ayat-ayat kepatuhan. Bahwa kemiskinan struktural, rusaknya lingkungan, dan penghambaan ekonomi pada pasar global, bisa disulap menjadi “kebijakan yang maslahat” asalkan dikutipkan ayat dan didoakan dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang).

Seolah-olah semua jadi beres kalau sudah ada dalil. Bahkan penggundulan hutan, peracunan sungai, penggusuran kampung adat, cukup ditutup dengan satu kalimat sakti: Ini bagian dari pembangunan berkelanjutan.” Bukankah begitu cara modern menafsir kitab suci sambil menggenggam kontrak-kontrak konsesi?

Dan memang, jika kita telusuri jejak kerusakan lingkungan yang kini menganga dari ujung timur Indonesia hingga ke jantung Kalimantan, awampun bisa melihat bahwa ini adalah dosa kolektif yang dilakukan atas nama “pasar global”. Bahwa tambang-tambang itu mengabdi pada rantai pasokan dunia: murah, kotor, dan destruktif.

Namun hanya ulamalah, dalam jubah intelektualisme, yang mampu berkata bahwa itu semua baik dan bermanfaat. Bahwa menjadi pemasok nikel termurah dunia adalah berkah, meski menyisakan lubang menganga sebesar stadion. Bahwa menyerahkan tanah air pada investor adalah bentuk tafsir baru dari “menjaga bumi”. Ya, menjaga bumi dari rakyatnya sendiri, agar investor merasa aman.

Maka kita kini benar-benar berada di zaman ekskavator teologis. Dimana tafsir agama bukan lagi membela yang lemah, tapi justru membela kekuasaan dan pasar. Dimana menjaga bumi dianggap radikal, dan menggali bumi dianggap maslahat. Dimana aktivis dituduh puritan, dan pengusaha dianggap pembaharu.

Jika ini terus berlanjut, jangan kaget jika nanti lahir kitab-kitab baru: Kitab Suci Ekskavator, Tafsir Jalanlain Konsesi, atau Hadis-Hadis Kapitalisme Berkelanjutan. Dan jangan-jangan, surga esok hari itu bukan lagi berisi taman-taman hijau, melainkan area industri berlabel “eco-green zone” yang dibangun di atas reruntuhan hutan adat.

Maka kita hanya bisa berdoa, semoga suatu hari nanti, kitab suci dan ekskavator tidak lagi disandingkan dalam satu khutbah pembangunan. Karena jika iya, maka yang akan punah bukan hanya hutan, tapi juga akal sehat kita.(*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular