SURABAYA – Semakin mengkhawatirkannya aksi teror yang menghantui masyarakat, pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia. Namun pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, harus ada peran serta masyarakat untuk bersama memberantas terorisme. Masyarakat sendiri terdiri dari berbagai kelompok kecil yang disebut keluarga.
Ahli psikologi Unair, Ilham Nur Alfian menuturkan bahwa keluarga merupakan tempat belajar pertama dan utama anak yang berkaitan dengan norma-norma sosial utamanya dalam konteks toleransi serta pengakuan atas keberagaman masyarakat.
“Seorang anak akan banyak belajar tentang nilai-nilai kerukunan, toleransi dan pengakuan atas keberagaman melalui interaksi yang berlangsung dalam keluarga. Lewat keluarga inilah akan ditemukan role model yang akan dicontoh oleh anak,” ujar Ilham, Kamis (22/4/2021).
Derasnya arus dan semakin mudahnya akses informasi melalui internet menjadikan keluarga sebagai garda terdepan untuk membentengi anggota keluarga dari paham radikalisme.
“Dalam konteks banjir dan mudahnya akses informasi lewat internet dan media sosial, maka keluarga seharusnya bisa berperan sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi seorang anak untuk mendiskusikan secara terbuka informasi-informasi yang mereka terima. Kenyamanan dan keterbukaan untuk mendiskusikan informasi yang diterima akan menjadi banteng untuk mengikis pemahaman radikalisme yang muncul akibat informasi yang keliru,” imbuhnya.
Dalam menciptakan suasana yang nyaman dalam keluarga, orangtua seyogianya memiliki pemahaman keagamaan yang benar dan utuh sehingga bisa memberikan contoh praktik keagamaan yang baik.
“Jika orangtua sudah menjadi contoh yang baik dalam praktik keagamaan, anak akan dapat percaya dan tidak segan membuka topik pembicaraan seputar paham keagamaan yang telah mereka terima,” paparnya.
Model pengasuhan demokratis dalam keluarga menjadi cara ampuh untuk mencegah munculnya paham dan praktik radikalisme. Model pengasuhan ini memungkinkan orangtua mengasuh anak dengan kontrol serta kehangatan yang tinggi.
“Dengan model pengasuhan ini orangtua akan mampu mengarahkan aktivitas anak, memberikan dorongan, menghargai tingkah laku anak, dan membimbingnya,” kata Ilham.
Dalam pola asuh ini anak diberikan kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri tapi tetap harus mengedepankan kedisiplinan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Komunikasi yang baik sangat diperlukan pada model pengasuhan ini. Orangtua juga harus menempatkan dirinya sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan agar mampu menerima keinginan serta masukan dari anak.
“Nantinya anak akan terhindar dari hal-hal yang intoleran. Secara tidak langsung anak akan menghargai perbedaan pendapat dan demokratis dalam bersikap serta terhindar dari pola pikir radikal, kasar, dan memaksakan kehendak,” pungkasnya.
(pkip/bti