Saturday, April 20, 2024
HomePolitikaSoal Capres, Fahd BAPERA: Siapa Yang Bisa Mewujudkan Dua Hal Ini?

Soal Capres, Fahd BAPERA: Siapa Yang Bisa Mewujudkan Dua Hal Ini?

Ketum DPP BAPERA Fahd El-Fouz A Rafiq. Menurutnya ada dua tantangan yang harus dijawab calon Presiden Indonesia yang akan maju pada Pilpres 2024 mendatang dan siapa yang bisa melakukannya layaknya menjadi pemimpin Indonesia ke depan. (foto: istimewa)

JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Barisan Pemuda Nusantara (Ketum DPP BAPERA) Fahd El-Fouz A Rafiq ikut memberikan pendapatnya terkait hiruk politik seputar kandidasi calon presiden untuk Pilpres 2024 mendatang. Ia memberikan responnya dengan membuka beberapa data penting terlebih dahulu sehingga dengan data yang cukup holistik ini nantinya pemahaman publik bisa komprehensif dan dapat menjadi rujukan bagaimana memilih calon pemimpin pengganti Presiden Joko Widodo pada Pilpres mendatang.

Menurutnya, cara kita bernegara tidak sama dengan bagaimana berpolitik yang ada dan dipahami selama ini. Politik hanya salah satu instrumen bernegara karena bernegara itu lebih luas dari politik, politik hanya bagian dari bernegara.

“Karenanya, dalam bernegara harus jelas cita-citanya yakni membuat Indonesia menjadi negara berdaulat dan berdikari. Dan itu cita-cita semua negara yang ada di dunia ini termasuk Indonesia,” ucap Fahd El-Fouz A Rafiq, di Jakarta, Rabu (1/2/2023).

Putra penyanyi dangdut A Rafiq itu mencoba membeber data terkait bagaimana Indonesia saat ini kaitannya dalam berpolitik sehingga menjadi bagian yang memiliki dampak positif dalam cara kita bernegara.

“Saat ini, semua serba digital tapi bagaimana peringkat Indonesia? Berdasarkan data DQL Index kualitas digital Indonesia pada 2021 masih rendah. Di kawasan Asia Tenggara Indonesia berada di posisi 72 dunia, diikuti Vietnam. Sementara, Singapura ke-6, Malaysia ke-31, Thailand ke-44 dan Philipina 48,” bebernya.

Rendahnya peringkat Indonesia, menurut Fahd, salah satunya dikarenakan belum meratanya pembangunan jaringan infrastruktur telekomunikasi yang memadai di semua wilayah Indonesia.

“Walaupun saat ini harga ponsel bervariasi dan banyak yang murah. Beberapa titik di kota besar sudah ada akses layanan wifi gratis. Di sisi lain masyarakat kita juga tidak cukup mampu untuk berlangganan akses internet. Inilah yang menjadi faktor penghambatnya,” paparnya.

Sementara itu, terkait indeks demokratisasi, merujuk dataThe Economist, Fahd mengatakan bahwa Indonesia saat ini justru mengalami penurunan dan berada di peringkat ke-3 dengan 6,39. Di atas Indonesia ada Philipina dengan 6,71 dan Malaysia 6,54 yang ketiganya masuk kategori demokrasi tidak sempurna.

“Terendah masih dipegang tiga negara yaitu Vietnam, Kamboja dan Myanmar yang masuk kategori rezim otoriter,” ungkapnya.

Mantan Ketum PP AMPG itu menambahkan bahwa semua calon pemimpin harus punya cita-cita yang sama walau dengan cara yang berbeda-beda karena memang tantangannya berbeda di tiap periode kepemimpinan yang ada.

Fahd menerangkan bahwa Indonesia mulai bernegara ala demokrasi secara langsung. Terhitung pasca Reformasi Indonesia baru 4 kali melakukan pemilihan langsung, dimulai dari tahun 2004, 2009,2014 dan 2019.

Menurutnya,tantangan tahun 2000an awal adalah ekonomi Indonesia harus recover dari keterpurukan karena resesi ekonomi tahun 1998 dan di tahun 2004 memerlukan tipe pemimpin yang bisa mengatasi masalah ekonomi tentunya. Dua periode kepimpinan SBY, menurutnya sektor ekonomi mulai jalan dimana bertumbuh 204% dalam 10 tahun.

“Namun ada dua hal yang harus diperhatikan yakni menguatnya radikalisme dan banyaknya teroris membunuh menggunakan bom di Indonesia,” ucapnya sedih.

Sementara itu, pada 2014, sektor ekonomi Indonesia bisa dikatakan sangat sedikit pertumbuhannya dimana hanya 23% dalam 8 tahun dengan per tahunnya tumbuh 2,4%.

“Kalau dipotong inflasi, pertumbuhan negatif dan ada hal yang paling menonjol yaitu perbedaan atau gap antar kelompok yang sangat meruncing,” tukasnya.

Mengutip pendapat pengamat intelijen Singapura dan Australia, Fahd mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam 8 tahun terakhir adalah hal yang berbahaya dalam jangka panjang jika terus terjadi. Pejabat negara terkesan mendiamkan adanya segregasi bahkan, menurutnya, pejabat menjadi pelaku pemisahan.

“Kelompok yang berbeda pandangan politik terutama Kristen-Islam, pribumi dan non pribumi, kelompok pengusaha tertentu yang dekat dengan istana versus UKM, keturunan china vs arab dan lain sebagainya,” paparnya dengan nada sedih.

“Segregasi ini jika terus dipertahankan bahkan diamplifikasi terus-menerus maka kebencian terhadap sesama saudara pasti tercipta,” imbuhnya.

Ketimpangan lain ternyata masih ada yakni 7% populasi Indonesia memegang 90% ekonomi nasional, dimana sisanya 93% polulasi tersebut berebut 10% kue ekonomi.

Kalau PDB nasional adalah Rp 16.000 Triliun, menurut Fahd, artinya yang Rp14.400 Triliun dipegang oleh 7% populasi atau sekitar 18,9 juta penduduk, sisanya diperebutkan oleh 93% populasi atau sekitar 252 juta penduduk.

“BAHKAN ada lagi yang membedah angka 90% ekonomi yang 0,1 elite persons itu (18,9 juta kali 0,1%) memegang 80 porsi kue ekonominya. Jadi 18.900 manusia Indonesia memegang Rp 11.500 Triliun. Kalau dibagi rata, per orang dari yang 18.900 tadi, setiap tahunnya mereka mengendalikan ekonomi senilai Rp 610 Miliar per orang. Sementara yang 99,9% atau 18.881.100 mendapatkan porsi ekonomi Rp 2.900 triliun atau per orang mendapatkan kurang lebih Rp 155 juta porsi per tahun kue ekonomi. Yang 22 juta penduduk mendapatkan Rp 1.600 Triliun dibagi 252 juta penduduk atau senilai Rp 6,5 juta per tahunnya,” paparnya detail.

“Sekarang kita review, anda masuk kategori mana? Kelompok elit 0,1% dari 18.900 orang yang mendapatkan porsi ekonomi Rp 610 miliar setahunnya atau bagian dari 7% populasi yang rata-rata dapat Rp 155 juta per tahunnya? Atau bagi yang tidak ber-income stabil hanya dapat dari orang tua, orang lain atau ada kerja serabutan yang hanya dapat Rp 6,5 setahunnya. Ini hanya bahan renungan dari sebuah fakta,” paparnya lagi.

Karena itu, menurut Fahd, ada dua tugas untuk Calon Presiden Indonesia ke depan. Pertama, pertama kue ekonomi dunia yang dipegang Indonesia berada di peringkat ke-16 dengan penguasaan senilai USD 1,1 Triliun atau senilai Rp 16.000 T dari porsi World GDP sebesar USD 101 Triliun. Dalam konteks ini, Amerika Serikat mengendalikan USD 25 triliun porsi ekonomi dunia. Tiongkok sekitar USD 20 triliun atau sekira 20% kue ekonomi dunia.

“Indonesia baru 1% kue ekonomi dunia. Jadi, tugas pertama bagi pemimpin Indonesia ke depan adalah bagaimana menjadikan Indonesia kue ekonominya menjadi 25 triliun dollar dalam 20 tahun ke depan,” katanya penuh harap.

Hal kedua, kedua bagaimana porsi keseimbangan ekonomi di Indonesia bisa lebih merata, adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Bukan yang 0,1% dikecilin dibagi ke bawah, bukan. Yang atas katakanlah tetap biarkan dapat Rp 610 miliar setahun tetapi bagaimana yang bawah ini bisa naik 1000 kali lipat dari Rp 6,5 juta per tahunnya menjadi Rp 6,6 miliar setahunnya,” harapnya.

Ketua Bidang Ormas DPP Partai Golkar itu menegaskan bahwa kenaikan pendapatan masyarakat harus tidak diikuti inflasi atau kenaikan nilai barang. Dengan kata lain, menurutnya, pendapatan naik tetap harga dan nilai barang harus tetap sama.

“Jadi, saya ulangi bahwa Pemimpin Indonesia ke depan harus bisa melakukan 2 hal yaitu menaikkan PDB nasional 25 kali lipat dan meningkatkan bottom of pyramid penduduk bahwa pendapatannya naik 1000 kali lipat, tanpa inflasi. Yang jadi pertanyaan siapa yang mampu melakukan hal itu dari sekian banyak nama-nama kandidat Calon Presiden di etalase capres publik Indonesia?” pungkasnya retoris.

(asw/bus/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular