
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi peningkatan gizi nasional kini kembali menjadi sorotan tajam. Sejumlah siswa di Cianjur dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program pemerintah tersebut. Hasil pemeriksaan sementara menyebutkan adanya kontaminasi bakteri E.coli, Salmonella, dan Staphylococcus—bakteri berbahaya yang bisa berdampak fatal, terutama bagi anak-anak.
Menanggapi insiden ini, pakar epidemiologi Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani, Ph.D, mengingatkan pemerintah agar tidak gegabah dalam menjalankan program MBG.
“Ini bukan sekadar salah masak. Ini alarm keras bahwa kita sedang bermain-main dengan nyawa anak-anak!” tegasnya.
Laura menyebut bahwa celah kontaminasi bisa terjadi di semua titik rantai produksi makanan -dari bahan mentah hingga penyajian.
“Kalau bahan bakunya sudah tidak aman, lalu dimasak tanpa protokol higienis, ditaruh di tempat penyimpanan yang tidak steril, dan dibagikan tanpa pengawasan, itu bukan program gizi, itu bencana kesehatan massal,” katanya geram.
Ia menyoroti bahwa anak-anak adalah kelompok paling rentan terkena dampak keracunan.
“Mual, muntah, diare, hingga dehidrasi akut bisa berujung fatal bila tidak ditangani cepat. Ini bukan hanya kasus biasa, ini potensi krisis kesehatan anak!” ujarnya.
Menurut Laura, program MBG harus dijalankan dengan protokol pengawasan ketat, bukan sekadar asal kasih makan. Ia mendesak agar pemerintah melakukan surveilans aktif bersama Dinas Kesehatan setempat, mengawasi tren diare dan status gizi anak-anak secara berkala.
“Jangan tunggu ada korban lagi, baru kita panik. Kita butuh data lapangan, pemantauan harian, bukan seremonial,” ucapnya.
Lebih jauh, Laura mendorong pembentukan tim audit pangan independen yang melibatkan pakar lintas sektor -ahli gizi, sanitarian, epidemiolog, hingga ahli keamanan pangan. Ia menekankan pentingnya sanksi keras bagi penyedia makanan yang lalai.
“Kalau ada yang terbukti lalai, jangan ragu hentikan kontraknya! Ini soal integritas pangan. Kalau masih dilindungi, berarti kita mengorbankan anak-anak demi tender murah,” pungkasnya.
Meski mengkritik keras, Laura tetap menilai program MBG sebagai inisiatif baik. Tapi, niat baik saja tidak cukup.
“Kalau eksekusinya sembrono, maka kita sedang menciptakan generasi lemah, bukan generasi emas,” tuturnya mengakhiri keterangan. (*)
Editor: Abdel Rafi