
JAKARTA, CAKRAWARTA.com — Barisan panjang jas putih membentang di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Senin (20/5/2025). Mereka tidak membawa suara gaduh. Tidak juga slogan provokatif. Hanya poster-poster sederhana, namun sarat makna: “Kolegium Harus Independen”, “Dokter Bukan Komoditas”, “Framing Negatif Profesi Harus Dihentikan.”
Aksi ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Secara serempak, ribuan dokter dan mahasiswa kedokteran dari Aceh, Medan, Malang, Surabaya, hingga Makassar turun ke jalan. Serentak. Satu suara. Satu panggilan hati.
Mereka tidak menolak perubahan. Mereka justru menagih pertanggungjawaban atas perubahan yang dinilai terlalu menyederhanakan hal-hal yang seharusnya dijaga dengan prinsip dan kehati-hatian.
Kolegium di Persimpangan
Di tengah berbagai wacana revisi kebijakan dan regulasi pendidikan kedokteran, para dokter dan mahasiswa merasa khawatir bahwa kolegium — lembaga yang selama ini menjaga standar keilmuan dan etik profesi -kian kehilangan independensinya.
“Jika kolegium tidak lagi berdiri tegak sebagai lembaga yang bebas dari intervensi, maka siapa yang akan menjaga mutu profesi ini?” ujar salah seorang dokter spesialis dari Surabaya.
Menurutnya, kolegium seharusnya menjadi penjaga gawang utama dalam menjamin kualitas pendidikan dan kompetensi dokter, bukan sekadar pelengkap kebijakan administratif.
Bukan Soal Jumlah Semata
Dari Medan, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. Mereka menolak proses pendidikan yang disederhanakan hanya demi mengejar kuantitas.
“Kami tidak menolak penambahan jumlah dokter, tapi proses pendidikannya jangan dikompromikan. Kualitas tidak boleh jadi korban,” kata seorang mahasiswi tingkat akhir FK USU.
Hal senada diutarakan oleh mahasiswa FK Universitas Brawijaya, Malang. Mereka menyelenggarakan diskusi terbuka bertema “Kolegium dan Kedaulatan Profesi”. Dalam diskusi itu, para peserta menekankan bahwa mendidik dokter tidak bisa disamakan dengan mencetak lulusan biasa.
Stigma dan Framing Negatif
Selain isu pendidikan, para peserta aksi juga menyoroti maraknya stigma dan generalisasi terhadap profesi dokter. Mereka merasa dirugikan oleh framing negatif yang muncul karena ulah segelintir oknum.
“Jika ada satu atau dua oknum dokter yang keliru, bukan berarti seluruh profesi harus menanggung stigma,” ujar seorang dokter di Makassar.
Ia menyebut banyak dokter yang selama ini bekerja dalam tekanan tinggi, fasilitas minim, dan keterbatasan sistem, namun tetap memegang teguh prinsip profesionalisme.
Gerakan Moral Nasional
Berbeda dari aksi-aksi lainnya, gerakan ini berjalan damai dan tertib. Di beberapa daerah, seperti Aceh dan Surabaya, aksi bahkan diawali dengan doa bersama dan pembacaan pernyataan sikap. Di Jakarta, mereka menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh haru di halaman kampus Salemba.

“Kami tidak ingin dilihat sebagai kelompok yang menolak perubahan. Kami justru ingin perubahan dilakukan dengan benar dan menghargai prinsip-prinsip profesi,” kata seorang dokter wanita alumnus FKUI yang turut hadir dalam aksi.
Menjaga Iklim Profesi
Lewat aksi ini, para dokter dan mahasiswa meminta pemerintah untuk memastikan bahwa kolegium tetap menjadi lembaga yang independen dan kredibel. Mereka juga berharap reformasi pendidikan kedokteran tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan hanya mengejar target kuantitatif.
Mereka pun meminta media dan masyarakat untuk lebih bijak dalam menyikapi isu-isu seputar profesi kedokteran. “Kami sadar, profesi ini sangat sensitif. Tapi jangan pukul rata. Jangan hilangkan kepercayaan publik karena kesalahan segelintir pihak,” tutur salah seorang dokter yang merupakan peserta aksi di Surabaya.
Satu Suara, Demi Kemanusiaan
Aksi hari ini telah usai. Tapi pesan moralnya masih menggema. Para dokter dan mahasiswa kedokteran telah menunjukkan bahwa mereka bukan hanya belajar tentang ilmu dan prosedur. Mereka juga menjaga nilai, etika, dan tanggung jawab.
Mereka bukan sekadar teknisi kesehatan. Mereka adalah penjaga kehidupan. Dan hari ini, mereka membuktikan bahwa martabat profesi layak diperjuangkan -demi keselamatan pasien, demi masa depan bangsa. (*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi