
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Dunia maya kembali diguncang. Bukan karena hoaks atau ujaran kebencian, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih mengusik nurani: kemunculan komunitas inses bernama “Fantasi Sedarah” di Facebook, dengan jumlah anggota yang mengejutkan -lebih dari 30 ribu orang!
Masyarakat pun geger. Desakan agar aparat menindak tegas pelaku dan dalang di balik komunitas menyimpang ini menggema di jagat maya. Tapi di balik kegaduhan publik, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: mengapa komunitas seperti ini bisa muncul dan tumbuh?
Psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Dr. Dewi Retno Suminar, M.Si., mengupas persoalan ini dari sisi psikologis. Menurutnya, perilaku inses tidak selalu berakar dari trauma masa lalu. Tapi bisa lahir dari lingkungan keluarga yang permisif, minim nilai agama, hingga struktur rumah yang tidak sehat.
“Inses bisa terjadi ketika tidak ada batasan relasi di dalam rumah. Kadang, setting rumah justru merangsang terjadinya kontak seksual, apalagi jika nilai agama dan moral tidak ditanamkan sejak dini,” jelas Dewi tajam.
Tak hanya itu. Rasa ingin tahu yang tinggi, dikombinasikan dengan ketidakmampuan menolak tekanan atau ajakan dari figur dominan, bisa menjadi jebakan mematikan yang menyeret seseorang dalam relasi inses. Di sinilah bahaya relasi kuasa berbicara -korban tak lagi mampu berkata tidak.

Sayangnya, kata “inses” masih dianggap tabu. Orang tua enggan membicarakannya. Padahal, diam adalah celah paling subur bagi penyimpangan.
“Anak harus mulai diajarkan batasan tubuh sejak kecil. Ketika masuk masa baligh, pemisahan tempat tidur harus jadi aturan. Nilai moral, agama, dan relasi sehat harus ditanam sebelum pubertas, bukan sesudah semuanya terlambat,” tegas Dewi.
Sebagai langkah preventif, Dewi menyarankan agar generasi muda dilibatkan dalam komunitas positif -dari komunitas rohani, game, hingga olahraga.
“Tubuh yang aktif, pikiran yang segar, dan komunitas yang sehat akan membuat tawaran dunia gelap seperti ‘Fantasi Sedarah’ tidak lagi menggoda,” tandasnya.
Kita tak bisa lagi hanya mengecam. Saatnya berani menelusuri akar, berbicara tanpa tabu, dan membangun sistem yang membuat rumah menjadi tempat paling aman -bukan ruang awal terjadinya kekerasan terselubung.(*)
Editor: Abdel Rafi