
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Usulan pemberian dana jumbo dari APBN kepada partai politik kembali mencuat, kali ini dilontarkan Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto dalam sebuah webinar resmi yang tayang di kanal YouTube KPK. Alih-alih memicu solusi, gagasan ini justru memancing kemarahan publik. Banyak yang menilai, ini adalah upaya “cuci dosa kolektif” elite politik dengan uang rakyat.
Ali Shahab, Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), angkat bicara soal wacana kontroversial ini. Dengan nada tegas, ia menyebut bahwa dana besar tak akan pernah bisa menjinakkan nafsu korupsi partai.
“Sampai sebesar apa pun dana negara yang digelontorkan, tak akan bisa menjamin kader partai berhenti mencuri!” tegasnya.
Menurut Ali, pendanaan parpol adalah gagasan lama yang terus direproduksi seolah-olah solusi. Padahal, akar masalahnya bukan pada besaran dana, melainkan mentalitas partai.
“Jangan berkhayal! Partai yang rakus akan tetap korup, sekalipun disuapi uang negara setiap pagi, siang, dan malam,” sindirnya.
Lebih dari sekadar anggaran, Ali menegaskan bahwa menjadi pejabat publik harusnya dimulai dari semangat pengabdian, bukan transaksi.
“Kalau partai berharap uang rakyat bisa menghalangi korupsi kader mereka, itu sama saja mengaku gagal mendidik moral,” katanya pedas.
Dalam kondisi APBN sedang megap-megap, wacana ini dinilai tidak hanya tidak sensitif, tapi juga keterlaluan.

“Jangan rakyat saja yang disuruh ikat pinggang. Elite politik juga harus tahu diri. Jangan main-main dengan uang rakyat!” cetus Ali.
Baginya, negara seharusnya merancang pengeluaran dengan akal sehat, bukan demi memanjakan partai-partai yang tak kunjung memperbaiki diri.
“Mereka tidak berhak bicara tentang antikorupsi jika masih menuntut disuapi negara,” tambahnya.
Ali justru mendorong pendekatan yang lebih tegas untuk memberantas korupsi: hukuman sosial dan perampasan aset.
“Berhentilah bersandiwara. Yang efektif adalah bikin mereka takut. Sita hartanya, hukum berat, dan beri malu di depan publik,” sarannya.
Ia juga menekankan peran masyarakat sebagai benteng terakhir. Rakyat harus cerdas dan berani menolak calon legislatif yang punya rekam jejak korup.
“Jangan pilih maling! Rakyat bisa jadi rem kalau elit politik sudah hilang kendali,” pungkas Ali. (*)
Editor: Abdel Rafi