
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Perubahan genetik virus menjadi tantangan besar bagi dunia medis modern. Di tengah laju mutasi yang kian cepat, resistensi terhadap obat serta munculnya varian baru seperti Hepatitis B dan SARS-CoV-2 menjadi sorotan serius para ilmuwan.
Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Juniastuti, dr., M.Kes., Sp.MK, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), saat pengukuhan jabatan guru besar yang digelar pada Kamis (22/5/2025) di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C Unair, Surabaya.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Juniastuti menyoroti dua virus utama yang menunjukkan kemampuan mutasi tinggi, yakni Virus Hepatitis B (VHB) dan SARS-CoV-2, penyebab COVID-19.
Hepatitis B: Ketika Obat Tak Lagi Mujarab
Hepatitis B merupakan penyakit yang menyerang organ hati dan telah memiliki lebih dari 10 genotipe serta 40 sub-genotipe yang tersebar di seluruh dunia. Mutasi tertentu pada virus ini, seperti A1762T/G1764A dan G1896A, menurut Prof. Juniastuti, dapat meningkatkan tingkat agresivitas virus dalam merusak hati, hingga berujung pada sirosis dan kanker hati.
Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa mutasi membuat virus kebal terhadap terapi standar. “Mutasi pada bagian YMDD, misalnya, diketahui menyebabkan resistensi terhadap lamivudin, salah satu obat antivirus utama untuk Hepatitis B,” ungkapnya.

Covid-19 dan Mutasi Tanpa Henti
Sementara itu, SARS-CoV-2 terus menunjukkan dinamika evolusi genetik sejak awal kemunculannya. Dalam waktu singkat, dunia menyaksikan kemunculan varian Alpha, Beta, Delta, hingga Omicron.
“Varian Omicron memiliki tingkat penularan jauh lebih tinggi dari Delta, meskipun cenderung menyebabkan gejala lebih ringan. Namun, efektivitas vaksin dan alat deteksi menjadi tantangan baru akibat mutasi yang terus terjadi,” jelas Prof. Juniastuti.
Ia menambahkan bahwa booster vaksin saat ini belum sepenuhnya mampu menangkal subvarian Omicron terbaru, sehingga pengembangan vaksin generasi baru menjadi kebutuhan mendesak.
Deteksi Dini: Langkah Kritis Hadapi Wabah
Dalam menghadapi ancaman varian baru dan resistensi virus, deteksi molekuler menjadi bagian penting dari sistem kewaspadaan dini. Sayangnya, teknologi ini masih tergolong mahal dan belum merata pemanfaatannya di semua wilayah.
“Diperlukan dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memperkuat sistem deteksi dini. Ini bukan sekadar menyelamatkan satu individu, tetapi bagian dari upaya melindungi masyarakat luas dari potensi wabah berikutnya,” ujarnya.
Penanganan yang cepat dan tepat, menurut Prof. Juniastuti, dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular serta mendukung pencapaian target kesehatan global pada tahun 2030. (*)
Editor: Abdel Rafi