Surabaya, – Indonesia saat ini digemparkan dengan makin maraknya kasus KDRT. Karena itulah kemudian muncul keresahan khususnya di kalangan Generasi Z saat ini yang ketakutan untuk menikah.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Psikologi senior Ike Herdiana mengatakan bahwa KDRT memang mengakibatkan trauma bagi korban, namun hubungan antara meningkatnya kasus KDRT dengan keputusan Generasi Z untuk menikah masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
“Generasi Z, dengan karakter terbuka, toleran, mandiri, dan menghargai kebebasan, menginginkan hubungan yang setara dan sehat. Pengaruh informasi instan, termasuk kasus KDRT, membuat mereka semakin selektif dalam memilih pasangan dan memutuskan menikah. Namun, banyak di antara mereka yang menilai pernikahan sebaiknya dilakukan ketika semua sudah siap, baik secara emosional maupun finansial,” ujar Ike sapaan akrabnya dalam keterangannya pada media ini.
Ike pun menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor kompleks yang berperan dalam fenomena menurunnya angka pernikahan di Indonesia. Pertama, meningkatnya pemberdayaan perempuan, hal ini sebab perempuan masa kini semakin mandiri dan memiliki akses terhadap pekerjaan.
“Kemandirian pada perempuan menyebabkan mereka tidak bergantung secara finansial pada pria. Selain itu, faktor kemiskinan juga menjadi penghalang, sebab banyak pasangan menunda pernikahan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” imbuhnya.
Lebih lanjut, menurut Ike, faktor ketiga adalah ketidaksiapan fisik, mental dan finansial. Ia menjelaskan, generasi muda saat ini cenderung ingin mencapai stabilitas finansial dan kematangan emosional sebelum memutuskan untuk menikah.
“Selain itu, maraknya kasus perselingkuhan dan KDRT yang mudah diakses melalui media sosial telah mengikis kepercayaan Gen Z terhadap institusi pernikahan. Terakhir, munculnya gaya hidup bebas dan mandiri, salah satunya menormalisasi hubungan tanpa pernikahan semakin meningkatkan anggapan Gen Z untuk menunda pernikahan,” tukasnya.
Dalam hal penanganan korban KDRT, Ike menekankan pentingnya intervensi psikologis yang dilakukan oleh profesional. Intervensi itu, katanya, harus dilakukan oleh profesional, terutama jika trauma yang korban alami sangat mendalam.
“Korban perlu mendapatkan pendampingan untuk merasa aman, memahami bahwa mereka berada dalam hubungan yang tidak sehat, serta mengajak korban agar mengenali dan mencintai diri sendiri kembali,” pungkasnya wanita yang merupakan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga itu.
(khefti/rafel)