Saturday, May 17, 2025
spot_img
HomePendidikanPsikologiAI vs Psikolog: Apakah Kita Siap Menyerahkan Kesehatan Mental pada Mesin?

AI vs Psikolog: Apakah Kita Siap Menyerahkan Kesehatan Mental pada Mesin?

ilustrasi. (gambar: Tim Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Ketika artificial intelligence atau Akal Imitasi (AI) mulai merambah ranah psikologi, sebuah pertanyaan besar menyeruak: benarkah manusia siap menyerahkan luka batinnya kepada mesin dingin tanpa empati?

AI yang awalnya digadang-gadang sekadar sebagai alat bantu, kini mulai mengambil alih peran yang dulu sakral dan sangat manusiawi: menjadi tempat curhat, menjadi “penyembuh jiwa.” Sebuah survei Snapcart pada 2025 mengungkap kenyataan mencengangkan –58% responden Indonesia kini mempertimbangkan AI sebagai alternatif psikolog mereka. Alasannya? Murah, praktis, dan bebas dari penghakiman. Tapi benarkah semudah itu?

Konseling Tanpa Rasa: Solusi atau Malapetaka?

Menurut Guru Besar Psikologi Klinis Dan Kesehatan Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Nurul Hartini, fenomena ini adalah titik genting. “AI bisa saja memberi jawaban. Tapi memahami luka? Merasakan empati? Menyentuh sisi manusia dari penderitaan mental? Itu bukan wilayah mesin,” tegasnya.

Ia mengakui, AI bisa membantu di tahap awal –misalnya untuk mengenali istilah atau gejala. Tapi ketika seseorang menangis karena trauma masa kecil, atau bingung menghadapi relasi toksik, AI hanya bisa merespons dengan algoritma, bukan dengan hati.

Guru Besar Psikologi Klinis Dan Kesehatan Unair, Prof. Dr. Nurul Hartini. (foto: dokumen pribadi)

“Jawaban AI mungkin terdengar meyakinkan, tapi ia tidak benar-benar tahu siapa yang sedang bicara padanya,” katanya.

Bahaya Baru: Ilusi Aman dalam Bisu Digital

Justru inilah jebakan berbahaya dari AI sebagai “terapis”. Banyak orang merasa cukup hanya dengan berkonsultasi lewat aplikasi, padahal masalahnya jauh lebih dalam.

“Distress, emosi tak stabil, perilaku menyimpang –semua itu tidak bisa selesai hanya lewat chat bot. Mereka butuh kehadiran manusia,” tegas Prof. Nurul.

Ia pun menyebutkan beberapa tanda penting yang mengindikasikan seseorang harus segera menemui psikolog, bukan AI: mulai dari ketidakmampuan berpikir jernih, ledakan emosi, hingga kecenderungan menyakiti diri sendiri atau menjauh dari norma sosial.

Psikolog Tak Akan Punah, Tapi Harus Adaptif

Meski begitu, Prof. Nurul tidak menutup mata terhadap potensi AI. Menurutnya, masa depan psikologi bukan tentang melawan AI, tapi memanfaatkannya secara cerdas.

“AI bisa dipakai untuk efisiensi. Tapi sentuhan emosional, empati, pemahaman kontekstual—itu hanya bisa dilakukan oleh manusia,” ujarnya.

Ia menegaskan, profesi seperti psikolog, dokter, atau perawat, yang menyentuh dimensi psikis dan emosional manusia, tetap akan bertahan.

“Karena apa pun yang terjadi, manusia tidak butuh sekadar jawaban. Mereka butuh dimengerti.” tegasnya.

Kesimpulan: Di Ujung Pilihan—Manusia atau Mesin?

Di era serba digital ini, kita dihadapkan pada pilihan mendasar: apakah kita ingin sembuh, atau hanya merasa seolah-olah sembuh? AI boleh cerdas, tapi hanya manusia yang punya hati. (*)

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular