
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Malam Sabtu itu (10/5/2025) di Pesantren Digipreneur Al-Yasmin terasa jauh dari suasana pesantren pada umumnya. Bukan lantunan kitab kuning yang terdengar, melainkan diskusi antusias tentang algoritma media sosial, strategi konten digital, dan komunikasi efektif untuk generasi Z. Para santri muda sibuk berbagi pengalaman mengelola akun TikTok, membuat konten Instagram bertema Aswaja, hingga menyunting ceramah dalam bentuk video pendek yang menarik.
Di bawah spanduk “Tadarus Silaturahmi: Merajut Literasi, Menguatkan Digitalisasi”, forum ini menjadi bagian dari rangkaian Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil), Gala Dinner, dan Diskusi Terbuka yang diselenggarakan Lembaga Ta’lif wan Nasyr Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (LTN PWNU Jatim). Sebuah momentum penting: ketika NU tak sekadar mengikuti zaman, melainkan bersiap memimpinnya—termasuk di dunia digital.
“LTN harus bisa berperan sebagai marketing communication (marcomm) NU. Kalau kita tidak adaptif, maka NU bisa tertinggal dan dilupakan generasi muda,” tegas H. Helmy M Noor, Ketua LTN PWNU Jatim, dalam pembukaan Rakorwil yang dihadiri utusan LTN PCNU se-Jawa Timur.
Menaklukkan Lanskap Baru Dakwah
Transformasi ini bukan langkah kecil. Dakwah NU yang historisnya berbasis sanad, kitab, dan majelis, kini masuk ke medan baru: layar ponsel. TikTok, Instagram Reels, YouTube Shorts, hingga X (Twitter) menjadi mimbar-mimbar baru tempat Islam Ahlussunnah wal Jamaah disampaikan dalam bahasa kekinian.

“Perang informasi tidak bisa dilawan dengan nostalgia,” lanjut Helmy. “Kita harus luwes secara metode, namun tetap teguh secara nilai.”
Karena itu, LTN PWNU Jatim tidak tinggal diam. Mereka menggelar pelatihan intensif, membentuk tim kreatif konten, hingga membangun jaringan kreator santri. Studio mini, kurikulum media sosial syariah, dan kolaborasi dengan influencer NU pun diluncurkan.
“Kami ingin NU bukan hanya eksis, tapi juga memimpin wacana keagamaan digital,” ujar Helmy.
Menguasai Narasi, Merawat Makna
Generasi Z lahir dalam dunia tanpa batas—hidup dalam feed, terhubung lewat jaringan, dan haus akan narasi yang relevan. Dakwah yang kaku dan satu arah jelas tak memadai.
Salah satu peserta, santri berusia 21 tahun, mengatakan ia rutin membuat video singkat tentang Islam ramah dan toleran, menjawab pertanyaan netizen dengan gaya santai.

“Saya belajar dari pesantren, tapi menyampaikannya lewat filter dan musik latar,” katanya, sambil tersenyum.
Namun substansi tetap dijaga. Setiap konten harus melalui kurasi fikih, redaksi, dan narasi. Sebab bagi LTN, konten yang viral tapi kosong hanya memperpanjang noise, bukan memperkuat makna.
“Maukah kita menyapa generasi muda di tempat mereka berada? Atau membiarkan mereka tumbuh tanpa NU?” tanya Helmy. Jawaban forum itu bulat: NU harus hadir.
Strategi Komunikasi sebagai Amar Ma’ruf
Sebagai Ketua Panitia Rakorwil, Ahmad Karomi menegaskan pentingnya membangun sinergi antar-pengurus dan antar-lembaga media NU, yang juga ditegaskan Helmy sebagai fondasi bagi kolaborasi literasi digital di tingkat daerah.
“Rakorwil ini menjadi titik tolak penguatan peran LTN NU dalam dakwah digital dan komunikasi strategis organisasi,” ucap keduanya senada penuh optimisme.
Di bawah kepemimpinan Helmy, LTN PWNU Jatim bukan lagi sekadar lembaga penerbit buku. Ia disulap menjadi pusat narasi dan strategi komunikasi NU.

“Kalau dulu kita distribusikan kitab ke pesantren, sekarang kita distribusikan konten ke feed dan timeline,” ujarnya santai.
Namun perubahan ini tak selalu mulus. Banyak pengurus yang belum familiar dengan teknologi, anggaran minim, hingga pemahaman yang belum merata soal urgensi komunikasi digital.
“Tapi kalau komunikasinya benar, NU bisa merebut hati publik. Kalau gagal membentuk narasi, kita akan disalahpahami,” tandas Helmy.
LTN Sebagai Divisi Marcomm NU
Gagasannya mungkin tak lazim bagi organisasi tradisional seperti NU. Tapi di era disrupsi digital, komunikasi bukan lagi sekadar menyampaikan pesan, melainkan mengelola persepsi. LTN harus bisa: membangun branding kelembagaan NU dan menguasai strategi kampanye digital, mengolah konten yang relevan dan menarik, terutama bagi generasi muda.
Rakorwil kali ini, dengan dua sesi di kantor PWNU Jatim dan Pesantren Al-Yasmin, menjadi ajang menyusun blueprint komunikasi baru NU Jawa Timur. Delegasi dari seluruh penjuru Jatim hadir, membawa semangat menjawab tantangan: Bagaimana NU tetap relevan di era TikTok dan Google?
Tantangan eksternal pun hadir: algoritma media sosial sering kali menenggelamkan konten bermanfaat, sementara narasi ekstrem justru viral.
“Ini bukan soal bisa bicara, tapi soal bertahan di lanskap yang tidak ramah nilai,” kata Helmy.
Pemimpi Sunyi yang Menggerakkan Narasi
Helmy M Noor mungkin bukan kiai karismatik atau orator ulung. Namun lewat ide dan strateginya, narasi Islam yang ramah kini lebih hadir di media sosial. Ia tahu cara menyusun kalimat yang tajam namun santun, membingkai fakta tanpa membunuh makna. Ia paham, kekuatan NU bukan hanya pada sanad keilmuan, tapi juga keberanian bersuara strategis.
“Konten Islam di media sosial banyak yang keras dan penuh ancaman. NU punya narasi lembut dan toleran. Tapi kenapa itu tak muncul?” katanya dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, yang ia ulang dalam momen Rakorwil LTN PWNU Jatim 2025 kali ini.
Dari kegelisahan itu, ia membangun mimpi besar: LTN sebagai poros komunikasi digital NU.

Kini, LTN NU khususnya di Jawa Timur tidak hanya menerbitkan, tapi juga memproduksi, mengolah, dan menyebarkan. Ia adalah dapur narasi NU.
“Kalau kita diam, kita kalah. Kalau kita lambat, kita ditinggal. Maka kita harus cerdas, cepat, dan tetap beradab,” ujarnya suatu malam.
Helmy tak ingin mengganti dakwah NU. Ia hanya ingin NU bisa didengar oleh generasi baru, dengan bahasa mereka, dalam ruang mereka. Dan artinya itu merupakan penegasan bahwa LTN tetap memegang kaidah NU yakni Almuhafdzatu ala Qodimish Sholih wal akhdzu bil Jadidil Ashlah. Nilai-nilai lama tetap dipelihara tapi cara penyajian dengan kemasan kekinian sesuai konteks zaman.
Karena itu, bagi Helmy M Noor, menjadi Ketua LTN NU di Jawa Timur bukan sekadar urusan media. Ini adalah amar ma’ruf. Lewat layar dan suara. Lewat teks dan algoritma. Lewat kerja nyata, sinergi, dan cinta.
Dan pada akhirnya, memasuki abad keduanya, NU tidak hanya bertahan—tapi terus memimpin dan LTN memainkan peran penting di dalamnya. Semoga. (*)
Editor: Bustomi dan Abdel Rafi