
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Pemerintah Indonesia akhirnya bersiap “move on” dari Singapura. Mulai November 2025, impor bahan bakar minyak (BBM) tak lagi bergantung pada negeri tetangga itu. Rute pasokan energi nasional akan dialihkan ke negara-negara Timur Tengah dan Amerika Serikat secara bertahap. Keputusan ini menandai babak baru dalam peta geopolitik energi Indonesia.
Selama ini, Singapura memasok lebih dari 50% kebutuhan BBM Indonesia. Namun, ketergantungan itu dinilai tak sehat -baik secara ekonomi maupun politik.
Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Tika Widiastuti, S.E., M.Sc, menyambut baik langkah pemerintah ini. Menurutnya, impor energi bukan hanya soal angka neraca perdagangan, tapi juga soal keberanian mengambil alih kendali masa depan energi nasional.
“Perdagangan internasional tidak semata soal kalkulasi ekonomi, tetapi sarat kepentingan politik. Dan dalam banyak kasus, political interest justru lebih dominan daripada economic interest,” tegasnya.
Ia menilai, selama ini Indonesia terlalu nyaman bergantung pada Singapura. Padahal, membuka jalur pasokan baru bisa memperluas kerja sama strategis, mulai dari sektor energi, pendidikan, hingga transfer teknologi.
“Jangan takut rugi dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah, ini bisa jadi titik balik bagi Indonesia untuk memperkuat bargaining position-nya secara global,” ujarnya.
Isu bahwa langkah ini akan memperburuk defisit transaksi berjalan dinilai berlebihan. Prof. Tika justru menilai kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki struktur perdagangan luar negeri.
“Kuncinya ada di kerja sama strategis. Kalau kita bisa selipkan transfer teknologi atau kerja sama pendidikan di balik kontrak impor BBM, dampaknya akan jauh lebih luas dan positif,” ungkapnya.
Dari sisi anggaran, Prof. Tika menyebut bahwa dampaknya terhadap subsidi energi tidak akan signifikan selama pemerintah mampu menjaga kestabilan harga dan logistik dengan mitra baru.
“Kalau harganya tak beda jauh dengan Singapura dan logistiknya bisa efisien, APBN tetap aman. Intinya ada di negosiasi dan manajemen pasokan,” jelasnya.
Meski menilai kebijakan ini cenderung reaktif terhadap dinamika global, Prof. Tika tetap melihat ada peluang besar yang bisa diambil jika pemerintah serius.
“Ini bisa jadi batu loncatan menuju kemandirian energi. Tapi harus ada strategi lanjutan yang lebih konkret. Jangan berhenti di impor saja. Energi terbarukan dan diversifikasi sumber energi harus segera dilajukan,” tandasnya.
Langkah ini bukan hanya tentang mencari harga murah, tapi juga sinyal kuat bahwa Indonesia siap menentukan arah sendiri. Ketergantungan pada Singapura tidak lagi sakral. Dan jika dikelola serius, ini bisa menjadi awal dari revolusi energi nasional yang selama ini hanya jadi wacana. Semoga. (*)
Editor: Abdel Rafi