
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Selasa (20/5/2025) pagi itu, udara di kota-kota besar Indonesia terasa berbeda. Bukan karena langit mendung atau kemacetan yang lebih parah dari biasanya. Tapi karena suara klakson, poster, dan jaket hijau yang bergerak dalam barisan panjang. Mereka, para pengemudi ojek online—tulang punggung transportasi urban modern—turun ke jalan. Bukan untuk menjemput penumpang, tapi untuk menyuarakan sesuatu yang lebih mendasar: keadilan.
Di Surabaya, ribuan driver berkonvoi dari titik-titik utama, menuntut kejelasan sistem bagi hasil yang dinilai semakin mencekik. Hal yang sama terjadi di Jakarta, Medan, Makassar, dan puluhan kota lainnya. Ini bukan demo biasa. Ini adalah jeritan kolektif mereka yang selama ini kita andalkan, namun jarang kita dengar.
Di tengah gelombang protes itu, Tofan Tri Nugroho, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), memberikan pandangannya. Tidak populis. Bahkan bisa dibilang kontroversial. Namun justru dari situlah perbincangan ini menjadi penting.
“Kalau tidak cocok, ya tinggalkan aplikator. Ini pasar bebas. Tak ada paksaan,” kata Tofan saat dihubungi Cakrawarta.com, Kamis (22/5/2025).
Ekonom muda alumnus Unair dan IPB University itu tidak sedang menyepelekan penderitaan pengemudi. Sebaliknya, ia sedang mencoba menyentil: bahwa dunia digital bukan dunia yang adil, dan kita—sebagai pengguna, sebagai pengemudi, bahkan sebagai pengamat—sering lupa akan hal itu.
Menurutnya, aplikator digital sejak awal bukan malaikat penyelamat. Mereka adalah entitas bisnis, yang pernah rela rugi besar demi membangun pasar. Kita ingat masa-masa promo besar-besaran, tarif murah, dan insentif tinggi. Tapi kini masa itu sudah lewat. Mereka berada di fase panen. Dan seperti bisnis lainnya, mereka ingin kembali modal.
“Lucunya, waktu mereka rugi di awal, tak ada yang protes. Sekarang ketika mereka untung, semua marah. Ini fase bisnis yang wajar,” ujarnya tajam.
Namun tentu, tidak semudah itu. Bagi Ahmad (34), driver ojol di Surabaya, kata “pindah aplikator” bukanlah solusi sesederhana kelihatannya. “Mau pindah ke mana, Mas? Semua aplikator sekarang sama saja. Tarif kecil, potongan besar. Kita ini serasa budak algoritma,” katanya sambil tertawa getir.
Ahmad bercerita, ia dulu bisa membawa pulang Rp 300 ribu per hari. Kini, untuk dapat Rp 100 ribu saja harus mengaspal lebih dari 12 jam. “Yang kerja kita, yang capek kita, yang rugi kita. Tapi yang pegang kendali ya tetap mereka,” ujarnya.

Tofan tidak menampik keluhan-keluhan itu. Ia justru mengajak publik untuk melampaui sekadar emosi. “Kalau benar sistem ini tidak adil, maka saatnya membangun sistem tandingan. Koperasi driver. Platform lokal. Skema berbagi keuntungan yang lebih manusiawi,” ujarnya.
Pertarungan ini bukan lagi sekadar soal tarif, tapi soal kedaulatan. Siapa yang berhak menentukan nilai kerja? Siapa yang mengontrol platform? Dan lebih penting lagi: apakah kita hanya akan terus menjadi pengguna dan pengemudi dalam sistem yang tidak kita miliki?
Tofan menyebut perjuangan driver sebagai bagian dari transisi besar. “Kita sedang hidup di era ekonomi platform. Tidak semua hal bisa diatur negara. Tapi bukan berarti kita harus tunduk. Kita bisa melawan—dengan cerdas, dengan terorganisir.”
Di jalanan, para pengemudi masih meneriakkan tuntutan mereka. Beberapa menuntut transparansi algoritma, ada pula yang meminta penghapusan potongan komisi yang dianggap tidak masuk akal. Tapi di balik semua itu, mereka sebenarnya sedang mencari satu hal yang lebih fundamental: kendali atas hidup mereka sendiri.
Mereka bukan hanya tukang antar. Mereka adalah simbol zaman. Dan hari itu, mereka berhenti sejenak, bukan karena malas bekerja. Tapi karena mereka ingin mengingatkan kita semua—bahwa di balik setiap klik di aplikasi, ada manusia yang sedang berjuang.
(Tommy/Rafel)