
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Awan gelap kembali menyelimuti dunia energi nasional. Kali ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia diduga membuat keputusan yang mencengangkan: memangkas drastis pasokan gas untuk PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk—ikon BUMN energi Indonesia -demi mengistimewakan perusahaan muda tak jelas rekam jejaknya, PT Butonas Petrochemical Indonesia (BPI). Ada apa sebenarnya?
Pusat Kajian Energi dan Sumber Daya Indonesia (CERI) menyuarakan keresahan publik. Sekretaris CERI, Hengki Seprihadi, menggugat keras tindakan Bahlil yang tampak lebih berpihak pada BPI ketimbang PGN, yang notabene merupakan anak perusahaan negara dan penyambung hidup industri gas nasional.
“Ini bukan sekadar soal bisnis. Ini soal keberpihakan. Apakah PGN memang harus dikerdilkan hanya karena Bahlil lebih dekat secara personal dengan direksi BPI?” tegas Hengki dalam keterangannya, Rabu (21/5/2025).
Kebijakan Sepihak, Aroma Kepentingan Pribadi?
Melalui surat bernomor T-174/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 16 April 2025, Bahlil secara resmi mengalihkan alokasi gas dari Lapangan Jambaran Tiung Biru -ladang gas strategis milik negara -kepada BPI dengan volume mencengangkan: 90 MMSCFD selama tujuh tahun lebih, dari 1 Januari 2028 hingga 17 September 2035.
Yang mencengangkan, alokasi untuk PGN justru dipangkas tajam dari 182 MMSCFD menjadi hanya 72 MMSCFD pada tanggal yang sama. PGN yang selama ini jadi tulang punggung distribusi gas nasional, justru diperlakukan seperti anak tiri.
Padahal sebelumnya, surat resmi Menteri ESDM Nomor T-712/MG.04/MEM.M/2023 telah menegaskan bahwa seluruh alokasi gas dari Jambaran Tiung Biru hanya diperuntukkan bagi PT PGN Tbk dan afiliasinya.
Siapa Sebenarnya BPI?
Fakta mengejutkan muncul ke permukaan: BPI adalah perusahaan yang baru berdiri pada 2021. Mayoritas sahamnya dipegang oleh PT Trinusa Resources dan selebihnya oleh Ignatius Tallulembang -nama yang tak asing dalam daftar kontroversi. Tallulembang sendiri pernah dicopot Presiden Joko Widodo dari kursi Dirut PT Kilang Pertamina Internasional, usai proyek kilang Balikpapan yang ia pimpin molor berkali-kali.
Lebih jauh lagi, sebagian saham BPI ternyata dimiliki PT Enviromate Technology International (ETI) -perusahaan yang juga terlibat dalam konsorsium proyek kilang RDMP Pertamina yang mangkrak dan menyedot anggaran triliunan rupiah.
“Ini bukan lagi soal proyek petrokimia atau investasi, ini soal siapa yang dikorbankan dan siapa yang diuntungkan. BPI belum punya rekam jejak, tapi diberi karpet merah. PGN yang terbukti berkinerja, justru disingkirkan,” ujar Hengki geram.
PGN: Korban Baru dalam Politik Gas?
Ironisnya, ini bukan pertama kalinya PGN “dikorbankan.” Sebelumnya, Bahlil juga mencabut penugasan pembangunan pipa West Natuna System dari PGN pada 22 Januari 2025. Serangkaian kebijakan ini, menurut Hengki, mengarah pada satu pola: pengkerdilan sistematis terhadap BUMN gas oleh sang menteri.
“Apakah ini bentuk penghinaan terhadap BUMN kita? Apakah Menteri ESDM bekerja untuk negara atau untuk kroni?” tanya Hengki lantang.
Pertaruhan Integritas Negara
Keputusan Bahlil ini tak hanya menimbulkan kecurigaan, tapi juga memicu pertanyaan mendasar tentang masa depan tata kelola energi nasional. Bila keputusan strategis seperti alokasi gas bisa berubah demi relasi personal, bagaimana nasib keberlanjutan energi dan kepercayaan investor?
Skandal ini harus menjadi alarm keras bagi Presiden dan DPR RI saat ini. Saat bangsa bertaruh di tengah krisis energi dan transisi hijau, publik butuh pejabat yang berpihak pada kepentingan nasional, bukan pada segelintir perusahaan gelap yang muncul bak jamur di musim hujan.
Indonesia butuh pemimpin energi, bukan makelar proyek. (*)
Editor: Abdel Rafi