
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di balik sinar matahari yang terpantul di permukaan tambak Puger, Jember, sebuah perangkat kecil tampak bergerak perlahan di atas air. Sekilas seperti perahu mainan, namun sesungguhnya itulah “mesin cerdas” bernama RSV EMAS — sebuah inovasi karya anak bangsa dari Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS) yang sedang diuji kemampuannya untuk mengubah masa depan budidaya udang di Indonesia.
Dikembangkan oleh tim multidisiplin dari PPNS, RSV EMAS — singkatan dari Remotely Surface Vehicle for Environmental Monitoring Aquaculture System — bukan sekadar prototipe teknologi. Ia adalah jawaban atas kerisauan para petambak tentang ketidakpastian kualitas air yang selama ini menjadi tantangan utama dalam menjaga kelangsungan hidup dan produktivitas udang.
Salah satu pengembang utama RSV EMAS, M. Basuki Rahmat, Rabu (28/5/2025), menjelaskan dengan antusias, “Kami ingin menjembatani kesenjangan antara teknologi dan realitas tambak tradisional. Selama ini, banyak petambak yang mengandalkan insting. Sekarang, kami bawa data ke tangan mereka — real-time dan presisi.”

Sebuah Tambak, Sejuta Data
Di tambak Teaching Factory SMK Perikanan dan Kelautan Puger, RSV EMAS menjalani uji coba di lingkungan nyata. Dengan tubuh mungil dan tenaga surya sebagai sumber energinya, perangkat ini mengukur enam parameter penting: kadar oksigen terlarut (DO), pH, salinitas, suhu, kekeruhan, dan bahkan ketebalan sedimen dasar tambak.
Semua data itu dikirim secara nirkabel melalui teknologi LoRa dan ditampilkan secara real-time di dashboard berbasis Android. Petambak kini bisa memantau kondisi tambaknya hanya dari genggaman tangan — bahkan dari luar kota.
“Bayangkan seorang petambak di pelosok, yang dulu harus turun langsung ke tambak, sekarang bisa mengambil keputusan hanya dengan melihat layar HP-nya,” ujar Basuki, dengan nada suara yang mencampur antara kebanggaan dan harapan.
Daya Surya, Asa Mandiri
Keunggulan lain RSV EMAS adalah pada sumber energinya yang ramah lingkungan. Sistem ini dirancang untuk mandiri secara energi dengan mengandalkan panel surya, menjadikannya sangat cocok untuk wilayah-wilayah terpencil yang belum tersentuh jaringan listrik PLN.
“Isu keberlanjutan menjadi sangat penting. Kami tidak ingin alat ini hanya berguna di laboratorium atau kota besar. Kami rancang agar bisa dipakai di tambak kecil di pelosok sekalipun,” tambah Basuki.
Diuji, Diakui, dan Didukung
Uji coba RSV EMAS tak hanya berlangsung teknis. Inovasi ini mendapat perhatian dari dua kementerian sekaligus. Perwakilan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dedy Dwi Suryanto, hadir langsung menyaksikan prosesnya.

“Inovasi seperti RSV EMAS memudahkan pelaku budidaya dalam memantau kondisi tambak secara efisien dan presisi. Ini penting untuk meningkatkan keberhasilan budidaya udang,” ujar Dedy memberi testimoni.
Dukungan serupa datang dari Kementerian Ketenagakerjaan. Menteri Ketenagakerjaan, Prof. Yassierli, ST., MT., Ph.D, menyebut RSV EMAS sebagai wujud nyata dari pendidikan vokasi yang aplikatif.
“Ini bukan hanya teknologi, ini adalah model pembelajaran yang menghasilkan solusi nyata. Layak dijadikan pilot project nasional,” katanya dalam kunjungan di lokasi uji coba.

Teknologi dan Vokasi: Tangan yang Menyalurkan Harapan
RSV EMAS adalah buah kerja tim solid dari PPNS yang terdiri dari Dr. Imam Sutrisno, Dr. Catur Rahmat Handoko, Rizal Fahmi, Agung Prasetyo, Septa Utami, dan tentu saja M. Basuki Rahmat — yang tidak hanya bertindak sebagai peneliti, tapi juga sebagai jembatan antara laboratorium dan tambak rakyat.
Basuki menyebut, timnya kini tengah menyempurnakan desain RSV EMAS agar lebih ringan, kompak, dan terjangkau. “Kami ingin setiap petambak kecil bisa punya satu. Bukan hanya milik perusahaan besar atau tambak modern saja,” katanya, menekankan pentingnya demokratisasi teknologi.
Menuju Ketahanan Pangan Laut
Keberhasilan RSV EMAS bukanlah akhir dari perjalanan. Ini adalah titik tolak. Dengan adopsi yang lebih luas, Indonesia bisa lebih kuat dalam ketahanan pangan laut dan meningkatkan daya saing ekspor udang vaname secara berkelanjutan.
“Ini bukan sekadar alat. Ini adalah gerakan perubahan. Jika pendidikan vokasi bisa melahirkan teknologi seperti ini, maka kita punya masa depan,” ujar Basuki menutup perbincangan.

Di tengah udara asin dan deru ombak Puger, harapan itu tampak nyata — bergerak perlahan di permukaan air, mencatat data, dan menciptakan revolusi senyap bagi masa depan tambak Indonesia.(*)
Editor: Abdel Rafi dan Tommy