
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Ketua Umum Persatuan Pengamal Tharikat Islam (PPTI), Rahman Sabon Nama, memberikan klarifikasi terkait perannya dalam mengorbitkan Habib Lutfi bin Yahya ke lingkungan Istana Kepresidenan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada masa Presiden Joko Widodo.
Pernyataan ini disampaikan Sabon Nama untuk merespons tudingan yang menyalahkan dirinya atas kontroversi seputar figur Habib Lutfi, termasuk tuduhan terkait penyalahgunaan jabatan dan penerimaan gratifikasi yang ramai diperbincangkan publik di media sosial.
Menurut Sabon Nama, pengajuan nama Habib Lutfi sebagai Wantimpres bermula dari situasi politik dan keagamaan yang memanas akibat kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memicu Aksi 212. Saat itu, ia difasilitasi oleh KH. Mashum, Pimpinan Ponpes Al-Islah Bondowoso sekaligus Wakil Ketua Dewan Mursyidin PPTI, untuk mempertemukan para ulama dan pimpinan pesantren se-Indonesia dengan Presiden Jokowi.
“Habib Lutfi waktu itu tidak bisa hadir karena sakit. Setelah pertemuan, saya sampaikan langsung kepada Presiden agar beliau ditunjuk menjadi Wantimpres demi meredam kemarahan umat Islam dan menjaga stabilitas nasional,” ujar Sabon Nama.
Ia menegaskan bahwa niatnya saat itu adalah tulus dan strategis, bukan dalam konteks politik pragmatis. “Itu keputusan taktis demi stabilitas politik dan keamanan nasional. Kalau belakangan ada kontroversi, itu hal yang lumrah terjadi. Tapi beliau tetap harus dihormati sebagai ulama,” tambahnya.
Sabon Nama juga menjelaskan bahwa sejak awal dirinya tidak mendorong Habib Lutfi masuk ke struktur Dewan Mursyidin PPTI, meskipun Habib Lutfi menjabat sebagai Ketua Umum Tharikat Jatman Dunia. Ia menyebut tidak ada beban psikologis dalam menyikapi kontroversi tersebut, dan mengingatkan publik agar tidak menyeret identitas keturunan Arab dalam perdebatan ini.
Menanggapi podcast kontroversial oleh YouTuber Guru Gembul, yang memicu polemik melalui narasi yang dinilai kasar dan rasis, Sabon Nama menyayangkan konten tersebut karena berpotensi memecah belah umat Islam dan menimbulkan sentimen antara ulama keturunan Arab dan pribumi.
“Guru Gembul ini saya nilai belum punya kapasitas intelektual yang mumpuni dalam membahas peradaban Islam. Beberapa videonya memperlihatkan ketidaksiapan akademis saat berdiskusi di ruang publik. Ia hanya sedang cari panggung,” kritiknya.
Sabon Nama menutup keterangannya dengan menyerukan agar masyarakat lebih arif dalam menyikapi isu-isu keulamaan dan menjaga ukhuwah di tengah kemajemukan umat.(*)
Editor: Abdel Rafi