
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di tengah geliat transformasi digital Indonesia, kebijakan penggunaan sistem pembayaran nasional Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) mendapat sorotan tajam dari sejumlah negara besar, termasuk Amerika Serikat. Menurut Prof. Henri Subiakto, Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga, tekanan tersebut muncul bukan tanpa alasan.
“QRIS membuat sistem transaksi keuangan kita lebih mandiri dan tidak bergantung pada jaringan pembayaran global seperti Visa dan Mastercard. Ini tentu dianggap merugikan pihak-pihak yang selama ini menguasai infrastruktur dan data transaksi digital dunia,” ungkap Prof. Henri, Kamis (24/4/2025).
Ia menjelaskan bahwa salah satu keunggulan utama QRIS terletak pada pengelolaan data transaksinya yang sepenuhnya dilakukan oleh lembaga dalam negeri, yakni perbankan nasional di bawah pengawasan Bank Indonesia. Hal ini membuat data masyarakat Indonesia tidak lagi mengalir ke server asing dan keluar dari kendali negara.
“Dalam sistem global yang kapitalistik, data adalah komoditas. QRIS yang dibangun mandiri dan menyimpan data di dalam negeri dianggap menutup akses para raksasa digital global terhadap ‘tambang emas’ ini,” ujarnya.
Prof. Henri juga menyinggung soal kebijakan lokalisasi data yang sempat menjadi perdebatan sengit pada era Presiden Donald Trump. Kala itu, pemerintah Indonesia sempat memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 yang mewajibkan semua data penting disimpan di dalam negeri. Namun, karena tekanan internasional, khususnya dari Amerika Serikat, aturan tersebut dilonggarkan melalui PP Nomor 71 Tahun 2019.

“Waktu itu, bahkan pejabat tinggi AS datang langsung untuk melobi agar pusat data swasta diperbolehkan berada di luar negeri. Hasilnya, pasal yang tadinya mewajibkan data center di Indonesia pun diubah,” terang mantan Staf Ahli Kominfo ini.
Ia menyoroti bahwa saat ini, hanya sistem-sistem yang dikendalikan oleh negara seperti QRIS yang masih menjaga prinsip kedaulatan digital. Sementara data dari layanan digital asing seperti media sosial, e-commerce, dan aplikasi pesan instan justru bebas beroperasi tanpa regulasi ketat terkait penyimpanan data.
“Sudah saatnya kita memahami pentingnya digital sovereignty. Jangan sampai Indonesia terus mengalah hanya karena tekanan dagang. QRIS adalah bentuk ketahanan ekonomi digital, dan ini harus didukung,” tegasnya.
Prof. Henri berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, mampu mengambil sikap lebih tegas dalam menjaga kedaulatan digital Indonesia. Ia menilai, pengalaman masa lalu sudah cukup menjadi pelajaran bahwa ketergantungan pada infrastruktur digital asing membawa risiko besar bagi kemandirian bangsa.
(Tommy/Rafel)