Wednesday, December 17, 2025
spot_img
HomeInternasionalPerang Iran-Israel Mengguncang Dunia: Harga Minyak Melonjak, Ekonomi RI Terancam Stagflasi?

Perang Iran-Israel Mengguncang Dunia: Harga Minyak Melonjak, Ekonomi RI Terancam Stagflasi?

ilustrasi. (gambar: Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Dentuman perang di Timur Tengah kini bukan hanya mengguncang Gaza atau Teheran, tapi juga menggetarkan fondasi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Di tengah panasnya konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang telah memasuki hari ketujuh (Kamis, 19/6/2025), sinyal bahaya mulai terdengar dari sektor energi global hingga investasi dalam negeri.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), Prof. Rossanto Dwi Handoyo, SE, M.Si, Ph.D, menegaskan bahwa eskalasi konflik ini tak bisa dianggap remeh. “Jika terus berlanjut, dunia berisiko menghadapi stagflasi: pertumbuhan ekonomi melemah, inflasi melonjak. Situasi yang dulu hanya mimpi buruk akademik, kini mengintip di ambang kenyataan,” ujar Rossanto, Kamis (19/6/2025).

Iran dikenal sebagai salah satu eksportir minyak terbesar dunia. Ketika rudal beterbangan, pasokan pun terguncang. Akibatnya, harga minyak melonjak, memicu efek domino: biaya produksi naik, harga barang meroket, dan inflasi tak terhindarkan.

“Negara-negara yang belum beralih ke energi terbarukan sangat rentan. Jika perang ini berlarut seperti konflik Rusia-Ukraina, maka bukan mustahil kita menghadapi gejolak harga global yang tak terkendali,” tambah Rossanto.

Selain itu, posisi geografis Iran dan Israel berada di titik strategis jalur pelayaran dunia. Gangguan di kawasan ini akan memaksa negara-negara mencari rute alternatif yang lebih jauh dan lebih mahal. “Itu artinya logistik global terguncang, dan harga barang akan semakin mencekik,” ujarnya.

Rossanto menegaskan bahwa ketegangan geopolitik ini akan menambah lapisan ketidakpastian dalam ekonomi global. “Investor global akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal. Kawasan Arab akan dihindari. Dan jika investasi dunia melemah, perdagangan global pun ikut lesu,” tegasnya.

Meskipun ekspor Indonesia ke Timur Tengah hanya menyumbang kurang dari lima persen total ekspor nasional, efek tak langsungnya bisa berbahaya. Pasalnya, wilayah itu merupakan jalur utama pelayaran ke Eropa. “Kalau logistik ke Eropa terganggu, maka daya saing ekspor kita bisa ambruk. Importir akan pilih negara lain yang lebih murah,” jelasnya.

Sebagai negara pengimpor minyak, lonjakan harga minyak juga akan menambah beban subsidi dan anggaran negara. Surplus neraca perdagangan pun bisa terkikis habis bila situasi tak terkendali.

Menghadapi tekanan global ini, Rossanto menyarankan pemerintah segera bertindak. “Kalau ekspor kita tertekan, maka impor pun harus dikurangi. Substitusi produk dalam negeri adalah kunci,” ungkapnya.

Ia mendorong pemerintah mengkombinasikan kebijakan fiskal dan moneter secara harmonis. Di sisi fiskal, ia menyarankan agar Indonesia tak ragu mengambil langkah restriktif, mengikuti tren proteksionisme global. “Amerika saja menaikkan tarif, kenapa kita tidak melindungi industri kita sendiri?” sindirnya.

Sementara dari sisi moneter, ia menyerukan langkah berani yaitu ekspansi kredit dan penurunan suku bunga.

“Kebijakan moneter kita harus mulai ngegas. Inflasi domestik terkendali, maka tidak ada salahnya BI turunkan suku bunga. Tujuannya jelas: dorong konsumsi, hidupkan investasi, dan perkuat pertumbuhan dari dalam,” tegasnya.

Di tengah dunia yang bergejolak, Rossanto mengingatkan bahwa kemandirian ekonomi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Perang Iran-Israel menjadi alarm keras: saat negara lain sibuk menekan pelatuk, Indonesia harus cepat menekan pedal gas pembangunan, atau ikut tenggelam dalam gelombang krisis global.(*)

Editor: Tommy dan Rafel

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular