Gelombang proteksionisme kembali menerjang ekspor Indonesia, kali ini dalam bentuk tarif impor dari Amerika Serikat (AS) yang dilontarkan oleh Presiden Donald Trump dalam kampanye terbarunya. Jika sebelumnya diperkirakan sebesar 32%, kini tarif tersebut melonjak menjadi 47% untuk sejumlah komoditas strategis dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ironisnya, langkah ini diumumkan setelah Indonesia mengirimkan delegasi setingkat VIP ke AS: Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Luar Negeri Sugiono, dan Menteri Investasi Rosan Roeslani.
Harapan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia di tengah pusaran persaingan ekonomi global seketika pupus. Alih-alih menjadi simbol diplomasi strategis, pengiriman delegasi itu justru terkesan seperti gestur seremonial yang tak diindahkan Washington. Dalam kacamata realis, ini menunjukkan bahwa Indonesia tak dianggap cukup penting untuk dinegosiasikan secara serius. Delegasi boleh datang, tapi tarif tetap naik.
Apakah ini sekadar kegagalan taktis? Atau pertanda krisis yang lebih dalam orientasi politik luar negeri Indonesia?
Luwes yang Terlalu Luwes
Sejak awal, politik luar negeri Indonesia selalu mengedepankan prinsip bebas-aktif. Namun, dalam praktik pemerintahan saat ini, prinsip tersebut tampak mengalami pelonggaran yang sangat pragmatis. Luwes, dalam konteks ini, berarti bisa berubah bentuk sesuai arah angin. Dalam kondisi geopolitik global yang berubah cepat, keluwesan memang penting. Tapi jika kelewat luwes, maka arah dan posisi bisa hilang.
Contoh yang mencolok adalah pengumuman Menteri Luar (Menlu) Negeri Sugiono soal kebijakan Indonesia yang akan menampung 1.000 warga Gaza yang sakit atau terluka akibat konflik berkepanjangan. Secara kemanusiaan, keputusan ini tentu mengundang empati. Namun dari sisi kalkulasi politik luar negeri, langkah ini justru menimbulkan banyak tanda tanya.
Mengapa Indonesia memilih jalur ini di saat negara-negara besar berlomba menawarkan mediasi atau posisi strategis dalam isu Palestina? Di mana posisi kita dalam upaya mengonsolidasikan solusi politik atas penjajahan Israel terhadap Palestina?
Gagasan untuk melakukan “relokasi sementara” jelas bukan penyelesaian holistik. Negara-negara di kawasan seperti Mesir, Yordania, dan Aljazair justru menolak keras skema pemindahan warga Palestina ke luar wilayahnya, karena dianggap sebagai bagian dari strategi Israel-AS untuk menghapus hak kembali dan mengubah demografi Palestina secara permanen. Kritik internasional terhadap Indonesia pun mencuat, mengingat dua bulan sebelumnya, Menlu Sugiono secara tegas menolak perubahan demografi Palestina dalam forum multilateral. Ketidakkonsistenan ini mengaburkan posisi Indonesia yang selama ini dikenal lantang membela Palestina, apalagi ketika negara-negara Global South lain seperti Turki, Afrika Selatan, dan bahkan Brasil tampil lebih tegas—baik melalui tekanan diplomatik maupun inisiatif rekonstruksi. Indonesia, alih-alih menjadi penggerak solusi strategis, justru tampak reaktif dan terjebak dalam kalkulasi jangka pendek yang belum tentu sejalan dengan prinsip politik luar negerinya sendiri.
Politik Luar Negeri Reaktif
Diplomasi Indonesia tampaknya kian digerakkan oleh dorongan responsif terhadap kejadian dunia. Dalam banyak kesempatan, pemerintah terlihat hanya merespons situasi internasional, bukan mengantisipasinya dengan proaktif. Dari urusan tarif Trump, konflik Laut Cina Selatan, hingga Gaza—Indonesia seolah selalu menjadi pemain pinggiran yang ikut bersuara ketika semua pihak sudah angkat bicara.
Ketika Presiden Prabowo Subianto menyusun visi Asta Cita, cita pertama adalah memperkukuh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia. Namun jika diplomasi Indonesia hanya berkutat pada gestur simpati dan langkah simbolik, maka Asta Cita akan kehilangan bobot strategisnya. Penerimaan pengungsi Gaza, misalnya, belum tentu berkorelasi langsung dengan pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di kawasan. Bahkan bisa menimbulkan beban sosial-politik dalam negeri yang belum diperhitungkan.
Hingga kini, belum tersedia data resmi dari Kementerian Sosial maupun Direktorat Jenderal Imigrasi yang menunjukkan kesiapan infrastruktur penampungan pengungsi asing secara menyeluruh. Padahal, dalam pengalaman terbatas sebelumnya—seperti penanganan pengungsi Rohingya atau warga negara asing pencari suaka—Indonesia kerap menghadapi kendala dalam distribusi logistik, layanan kesehatan, hingga integrasi sosial di daerah penerima. Retorika ambigu “relokasi sementara” yang kini digemakan pun membuka potensi gesekan sosial di lapangan, terutama bila tidak didukung oleh sistem layanan sosial dan mekanisme pengembalian yang jelas. Tanpa perencanaan yang matang dan infrastruktur pendukung yang teruji, kebijakan semacam ini bukan hanya mengeruhkan situasi domestik, tetapi juga berisiko mereduksi komitmen normatif Indonesia terhadap Asta Cita yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan.
Strategi Baru yang Lebih Tegas
Sudah saatnya Indonesia meninjau ulang strategi diplomasi luar negeri. Dunia kini dihadapkan pada blok-blok kekuatan baru. Dari BRICS yang makin ekspansif, ASEAN yang gamang, hingga Amerika yang kembali pada wajah proteksionismenya. Di tengah situasi ini, Indonesia tak bisa sekadar menyuarakan “bebas-aktif” tanpa orientasi jangka panjang yang tegas.
Pemerintahan Prabowo Subianto harus mulai menetapkan garis merah dalam hubungan luar negeri. Apa prioritas kita? Di isu Palestina, apakah kita hanya akan menjadi tempat evakuasi kemanusiaan atau aktor aktif dalam penyelesaian konflik? Di isu perdagangan internasional, apakah kita akan tetap tunduk pada tekanan tarif atau membentuk blok dagang alternatif bersama Global South?
Layaknya yang dituturkan penggagas politik luar negeri sekaligus salah satu proklamator dan bapak bangsa kita, Mohammad Hatta, Indonesia harus mampu memanfaatkan gejolak geopolitik dunia guna menuai keuntungan strategis. Untuk benar-benar menjadi “subjek” dalam hubungan internasional, Indonesia mesti mengeskalasi nilai tawarnya. Hari ini, Indonesia adalah aktor kunci dalam kolaborasi regional ASEAN, IORA, sekaligus bridge builder bagi Global South. Tidak dipungkiri, keterlibatan dalam BRICS turut memperluas akses pasar Indonesia. Akan tetapi, kembali lagi, apakah hal ini sepadan dan sesuai dengan kepentingan nasional? Indonesia harus mahir membaca situasi dan menginterpretasikan “bebas-aktif” dengan tepat. Apabila Indonesia dapat terus bermain cermat melalui kemitraannya, Indonesia akan mampu mengindahkan adagium untuk “berdiri pada kakinya sendiri”.
Sebagai negara besar di Asia Tenggara dengan sejarah diplomasi yang dihormati, Indonesia punya kapasitas untuk memainkan peran strategis. Tapi itu hanya bisa dicapai jika ada konsistensi visi dan keberanian mengambil sikap. Bukan hanya sekadar ikut arus atau berharap belas kasih negara adidaya.
Diplomasi Tanpa Gagasan?
Kenaikan tarif yang dijatuhkan Trump dan keputusan menerima ribuan pasien dari Gaza seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah untuk mengevaluasi arah diplomasi nasional. Dunia tidak sedang mencari negara yang pandai bersimpati, tapi negara yang punya posisi. Simpati tak akan menurunkan tarif. Dan solidaritas tanpa strategi hanya akan menjadi beban.
Jika Indonesia ingin dihormati di panggung global, maka diplomasi kita harus lebih dari sekadar pertunjukan moral. Ia harus dibekali gagasan, kalkulasi, dan arah yang tegas. Tidak semua langkah luar negeri bisa dibenarkan atas nama “kepentingan nasional”, jika makna kepentingan itu sendiri masih kabur dalam praksisnya.
PROBO DARONO YAKTI
Dosen Hubungan Internasional dan Periset CSGS FISIP Universitas Airlangga
ditulis bersama
ELISABETH CHERYL XAVIERA
Assiten Peneliti CSGS FISIP Universitas Airlangga
Saya berlawanan terhadap stance amerika mengenai tarif dan palestina, tapi pengalaman saya bekerjasama dengan distributor musik perusahaan Amerika, saya merasakan lebih dapat dipercayanya aturan main hukum dan ideologi ekonomi di sana. Di Indonesia saya merasa tidak adanya kejelasan aturan hukum dan ideologi ekonomi. Politik luar negri alih2 menjadi objek diplomasi malah menjadi ladang pencarian elektoral atau kepuasan publik dalam negri yang tidak signifikan menggerakkan progres ke tujuan.