
Saya masih sangat mengingat momen ketika pertama kali diterima di Fakultas Kedokteran. Saat itu, saya dipertemukan dengan banyak guru besar dan dokter senior—mereka mendidik saya tidak hanya dengan ilmu, tapi juga dengan nilai-nilai moral yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan.
Dari banyak pelajaran tentang etika dan kemanusiaan, ada satu momen yang begitu membekas dalam ingatan saya: kuliah bersama Prof. Damayanti. Beliau bertanya, “Kalau pasien kalian membutuhkan pengobatan yang belum tersedia di negara ini, apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan diam? Apakah kalian akan berkata: ‘mohon maaf, di sini belum ada’ begitu saja?”
Kami semua terdiam.
Lalu beliau melanjutkan, dengan suara penuh keyakinan, “Tidak boleh. Sebagai dokter, kalian tidak hanya memberikan pengobatan yang ada, tapi harus berjuang agar pasien kalian mendapatkan pengobatan terbaik.”
Sejak hari itu, standar dalam pikiran dan hati kami berubah. Kami belajar, bahwa menjadi dokter bukan sekadar profesi, tetapi panggilan untuk terus berusaha dan mengadvokasi demi kemanusiaan. Nilai itu terus ditekankan oleh para guru kami. Dari situlah tumbuh keyakinan dalam diri saya: bahwa dunia kedokteran adalah tempat bagi orang-orang yang tulus belajar, bekerja, dan berjuang untuk sesama manusia. Tempat yang, meski penuh tantangan akademik, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Tempat yang membuat saya merasa… aman.
Aman dari hiruk pikuk dunia luar.
Aman dari tarik-menarik kepentingan politik.
Aman karena yang paling dihargai di sini adalah ilmu, integritas, dan kemanusiaan.
Namun, belakangan ini, rasa aman itu seakan mulai terkikis. Berita tentang seorang PPDS yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual sungguh menyakitkan—ia menghancurkan hati banyak dari kami. Tapi yang lebih melukai adalah bagaimana tragedi itu digiring menjadi narasi gelap tentang profesi dokter secara keseluruhan.
Kami, yang sedang belajar menjadi dokter yang baik, tiba-tiba merasa seolah-olah dianggap sebagai ancaman. Dunia kedokteran dicitrakan sebagai institusi yang rusak dan perlu dikendalikan dengan tangan besi.
Saya tahu, di rumah sakit pendidikan, peran PPDS sangat penting. Mereka belajar melalui praktik langsung, dibimbing oleh para konsulen. Metode ini bukan baru; ia sudah lama menjadi bagian dari sistem pendidikan kedokteran, agar dokter lulusan memiliki pengalaman dan kepekaan klinis yang cukup.
Namun saat Menteri Kesehatan -yang bukan berlatar belakang dunia kesehatan -berkomentar, “aneh, kenapa PPDS yang melakukan, seharusnya konsulen,” saya tersadar: bahkan pemegang kebijakan tertinggi tampaknya belum memahami bagaimana pendidikan dokter sesungguhnya dijalankan.
Ketika hak kolegium kedokteran dicabut secara sepihak oleh Kemenkes, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merespons dengan pernyataan sikap, tak lama kemudian ketua IDAI dipindahkan dari RSCM tanpa pemberitahuan lebih dulu. Saya tidak hanya merasa marah, saya merasa dikhianati oleh negara saya sendiri.
Saya masih mahasiswa tingkat dua, tapi saya tahu bahwa banyak senior saya belajar dari beliau -dari semangat dan teladannya, dari cara beliau memperlakukan pasien. Sekarang, beliau dijauhkan dari rumah ilmunya, dari murid-muridnya, yang entah akan belajar dari siapa jika guru-guru mereka diambil satu per satu.
Lalu muncul pula wacana pemisahan universitas dan rumah sakit pendidikan. Saya mungkin belum sepenuhnya memahami rincian konsep ini, tapi satu hal yang pasti: jika kami tidak lagi bisa belajar langsung dari para dokter klinisi, maka akan ada sesuatu yang berharga yang hilang.
Saya tidak ingin hanya menjadi produk dari sistem rumah sakit. Saya ingin dibimbing oleh guru. Oleh mereka yang tidak hanya mengajarkan keterampilan, tapi juga menanamkan ruh kemanusiaan. Jika kelak klinisi tidak boleh lagi mengajar, dan dosen tidak boleh lagi merawat, lalu siapa yang akan menunjukkan kepada kami bagaimana menyentuh manusia dengan ilmu dan empati sekaligus? Siapa yang akan mengingatkan bahwa yang kami hadapi bukan sekadar penyakit, tapi manusia seutuhnya?
“Salemba Berseru” adalah suara dari para guru besar kami. Dan saya bangga akan itu. Tapi di balik kebanggaan itu, ada kesedihan yang mendalam. Kesedihan karena tempat terakhir yang saya anggap suci -yang saya percayai menjaga nilai dan integritas -kini ikut terseret arus kekuasaan.
Mereka bersuara karena negara tidak lagi hadir sebagai pengayom, tidak lagi menjadikan kolaborasi sebagai jalan utama.
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk menyampaikan satu hal: saya merasa kehilangan. Kehilangan rasa aman. Kehilangan kepercayaan. Bukan karena takut akan perubahan, tapi karena saya tahu betul apa yang sedang diambil dari kami -nilai, semangat, dan keutuhan pendidikan kedokteran Indonesia.
Namun, saya belum kehilangan harapan.
Karena saya masih melihat guru-guru kami berdiri tegak, meski dalam tekanan. Saya masih melihat teman-teman mahasiswa saling menguatkan. Dan saya percaya, profesi ini telah bertahan bukan karena sistem yang sempurna, tetapi karena orang-orang di dalamnya yang menjaga dengan hati.
Kami akan terus belajar.
Tapi mohon, jangan bungkam suara mereka yang mengajarkan kami bukan hanya untuk menjadi dokter, tapi juga untuk menjadi manusia. (*)
XYZ
Mahasiswa Tingkat 2 FKUI