
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di negeri ini, jabatan adalah semacam baju hangat. Kalau gerah boleh dilepas sebentar, nanti bisa dipakai lagi asal masih muat dan tidak sobek. Begitulah kira-kira kisah Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), yang sempat heboh karena katanya “mundur,” tapi nyatanya “ya enggak juga.”
Selasa, 6 Mei 2025. Seperti biasa, Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara berlangsung dengan khidmat dan penuh raut serius. Tapi satu wajah mencuri perhatian: pria itu, berdasi, berwajah tenang—Hasan Nasbi telah kembali. Setelah hampir seminggu lalu jadi bintang utama drama “Saya Mundur”, kini ia duduk manis di kursi kekuasaan, seolah-olah minggu lalu hanyalah mimpi basah demokrasi.
Kita mundur sedikit ke belakang.
Pada 29 April 2025, Hasan mengumumkan pengunduran dirinya. Bukan karena tekanan publik, katanya. Bukan pula karena ciut. Tapi karena “pertimbangan yang sangat matang.” Matang sekali, sampai-sampai hanya butuh seminggu untuk busuk kembali.
Bukan cuma itu. Dalam suratnya kepada Presiden Prabowo yang tertanggal 21 April (ya, mundur diumumkan 29 April, tapi suratnya dari 21 April—mungkin waktu itu beliau sedang menerawang masa depan), Hasan mengaku bertanggung jawab penuh atas kegaduhan yang ditimbulkan.
Gaduh apa? Oh, tentu saja, pernyataannya yang legendaris: “Dimasak saja.”
Sebuah jawaban atas teror kepala babi yang dikirim ke redaksi Tempo. Alih-alih mengecam, Hasan malah seolah menyarankan dijadikan sop. Maka wajar jika jurnalis murka, aktivis bereaksi, dan publik menggertakkan gigi. Lalu, dalam tekanan itulah Hasan berpamitan… atau setidaknya berpura-pura.
Tapi ini Indonesia, tempat keajaiban selalu menemukan jalannya. Tidak perlu kitab suci atau mukjizat besar—cukup sedikit “keseleo lidah”, dan semua dosa bisa dihapus. Presiden Prabowo pun tampaknya bersikap bijak. Dalam rapat kabinet kemarin, beliau memaklumi Hasan. Namanya juga pejabat baru, katanya. Lidahnya belum adaptasi.
Sebuah pengampunan yang hangat, mengalahkan doa-doa pemuda pengangguran yang tak kunjung diterima CPNS.
Sebab di negeri ini, keseleo lidah lebih cepat dimaafkan daripada salah input data bansos.
Warganet di X, tentu saja, tidak tinggal diam. Dari “plin-plan” sampai “boneka kekuasaan”, Hasan mendapat berbagai label. Ada yang berspekulasi bahwa pengunduran diri Hasan sebenarnya hanya “sandiwara”, bahkan ada yang bilang Jokowi masih mengatur dari balik layar. Entah benar entah tidak—kita hanya rakyat biasa, bukan pembisik istana.
Yang jelas, kembalinya Hasan menandai satu hal penting: di republik ini, jabatan adalah elastis—bisa ditarik, dilepas, lalu dikenakan lagi asal suasana sudah adem.
Dan jangan salah, Hasan bukan satu-satunya. Ini semacam tradisi baru: ucapkan niat mundur, lalu cek reaksi publik. Kalau heboh, tunggu sebentar, lalu balik lagi. Semudah menyambung charger di colokan yang longgar.
Kini, Hasan sudah kembali. Jabatan Kepala PCO kembali menempel di pundaknya. Ia mungkin sedang menyiapkan pernyataan baru. Atau mungkin tidak perlu. Karena toh, di negeri ini, kita cepat lupa. Esok akan ada heboh lain. Hari ini Hasan, besok bisa siapa saja.
Tapi satu pelajaran penting: di politik kekuasaan Indonesia, yang penting bukan integritas, tapi fleksibilitas.
Dan siapa tahu, tahun depan akan ada pelatihan: “Cara Mundur yang Elegan dan Kembali tanpa Malu.” Narasumber: Anda tahu siapa. (*)
Editor: Tim Redaksi