
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Di pagi yang lengang di ibu kota, langkah seorang kepala daerah terdengar menyusuri koridor Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bukan untuk rapat atau seremoni, melainkan untuk belajar — dari awal, dari dasar, dan dari kesalahan. Selasa (6/5/2025), Bupati Indramayu Lucky Hakim memulai hari pertamanya magang. Ya, magang. Sebuah kata yang biasanya lekat dengan mahasiswa, bukan dengan seorang bupati.
Pukul 07.30 WIB, Lucky sudah tiba, lebih pagi dari kebanyakan orang. Ia duduk menanti, tak banyak bicara, menunduk seperti tengah menyusun ulang kompas hidupnya. Pukul 08.00 WIB, ia diterima langsung oleh Menteri Dalam Negeri, yang memberinya arahan. Arahan yang bukan hanya soal teknis pemerintahan — tapi juga tentang tanggung jawab, dedikasi, dan etika kepemimpinan.
Magang ini bukan sekadar rutinitas birokrasi. Ini adalah sanksi pembinaan atas tindakannya bepergian ke luar negeri saat hari libur tanpa izin resmi. Namun di balik sanksi itu, terselip harapan: agar kesalahan menjadi guru terbaik, dan jalan pengabdian tak berhenti hanya karena satu khilaf.
Langkah awal Lucky dimulai di Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Ditjen Bina Adwil), tempat ia akan belajar tentang seluk-beluk kerja sama antarwilayah, pelayanan publik, urusan perbatasan, ketertiban umum, hingga penanganan bencana. Materi yang tak hanya menuntut pemahaman administratif, tetapi juga empati terhadap rakyat yang selama ini ia pimpin.
“Pembelajaran ini bukan hanya teori, tapi juga praktik langsung. Ia akan turun ke lapangan, bertemu masyarakat, menghadapi masalah nyata, dan membuat laporan seperti para ASN lainnya,” ujar Dirjen Bina Adwil, Safrizal ZA, di sela aktivitas di Kemendagri.
Lucky bukan lagi bupati yang berada di balik meja megah. Selama tiga bulan ke depan, setiap hari Selasa, ia akan menjadi ‘murid’. Ia akan mencatat, mendengar, dan menyimak — agar bisa pulang ke Indramayu sebagai pemimpin yang lebih bijak.
“Saya datang ke sini bukan untuk formalitas. Ini proses yang harus saya jalani dengan sungguh-sungguh. Bukan hanya untuk saya, tapi juga demi masyarakat Indramayu,” ucap Lucky pelan, namun mantap. Di matanya, ada jejak penyesalan. Tapi lebih dari itu, ada tekad untuk berubah.
Ia mengaku, arahan dari Mendagri membuka kesadarannya: bahwa kepala daerah adalah pejabat publik yang tidak mengenal kata libur. “Itu yang saya tanamkan dalam hati saya sekarang,” katanya lirih.
Lebih jauh, Lucky mengingat pesan yang menyentuhnya paling dalam: kepala daerah adalah orang pilihan, dan karena itulah, bebannya tak ringan. “Kami difasilitasi negara bukan untuk bersantai, tapi untuk bekerja, untuk rakyat,” tuturnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri, dan pada para pemimpin yang mungkin tengah lupa akan tugas utamanya.
Langkah Lucky hari ini mungkin sunyi. Tak banyak sorak-sorai, tak ada panggung, tak ada sorotan kamera yang memuja. Tapi di balik kesunyian itu, mungkin sejarah kecil sedang ditulis — tentang seorang pemimpin yang memilih menebus kesalahan dengan belajar, bukan berkilah. Tentang seorang Lucky yang ingin kembali benar-benar menjadi ‘hakim’ bagi dirinya sendiri.
Editor: Abdel Rafi