SURABAYA – Putra musisi kondang Ahmad Dhani, Ahmad Ghazali atau Al dan Ahmad Jalaluddin Rumi atau El, resmi terjun ke dalam dunia politik. Di hadapan para awak media, keduanya secara langsung diperkenalkan sebagai kader Partai Gerindra oleh Prabowo Subianto selaku ketua umum. Berita itu lantas menuai berbagai komentar pro dan kontra dari warganet.
Menanggapi hal itu, pakar politik Hari Fitrianto mengatakan bahwa fenomena masuknya kalangan selebritas ke ranah politik menjelang pemilu merupakan hal yang wajar.
“Saya rasa wajar karena memang sistem demokrasi kita memperbolehkan,” ucap Hari pada media ini.
Hari menjelaskan, secara garis besar terdapat dua sistem pemilihan umum, yaitu open-list dan close-list. Pada sistem close-list, partai politik memegang wewenang secara penuh untuk menentukan kandidat yang akan duduk di kursi eksekutif maupun legislatif.
Sementara itu, pada sistem open-list, para pemilih memiliki andil besar dalam mengusung kandidat pejabat politik secara langsung. Dengan kata lain, open-list memungkinkan terjadinya perluasan partisipasi masyarakat untuk menduduki kursi parlemen.
Dalam sistem open-list, sambung Hari, salah satu variabel utama yang memengaruhi keberhasilan kandidat adalah popularitas. Oleh karena itu, masuknya kalangan selebritas dalam ranah politik menjadi suatu manuver yang strategis dalam mendulang suara pemilih.
“Di sinilah titik temu antara dunia hiburan dengan politik yang keduanya sama-sama dibangun oleh napas popularitas. Jadi, saya rasa wajar saja karena sistem pemilu kita memperbolehkan,” ujar Hari.
Lebih lanjut, Hari mengatakan bahwa keterlibatan selebritas dalam ranah politik khususnya menjelang pemilu bukan merupakan fenomena baru. Dalam sejarah pemilu Indonesia, manuver-manuver politik semacam ini sudah sering terjadi.
“Kita lihat misalnya pada masa Orde Baru, Rhoma Irama sempat menjadi jubir (juru bicara) di PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Saat itu, suara yang diperoleh partai tersebut terbilang signifikan. Bahkan, Partai Golkar sebagai kekuatan utama Orde Baru sampai melakukan pendekatan ke Rhoma agar mau bergabung ke Golkar,” jelasnya.
Berlanjut pada era Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Joko Widodo, keterlibatan para selebritas sebagai pendulang suara juga semakin terlihat. Bahkan, band sekaliber Slank secara terang-terangan menyatakan dukungannya pada Joko Widodo yang saat itu masih menjadi calon presiden.
Hal yang sama juga terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Saat itu, komika bertitel Mr World Tour, Pandji Pragiwaksono juga terlibat sebagai juru bicara Anies Baswedan dan turut aktif dalam berkampanye.
Lebih lanjut, Hari mengungkapkan bahwa dalam mekanisme kampanye, terdapat istilah vote gather, yaitu pihak-pihak yang mampu menarik pemilih dengan tujuan meningkatkan suara kandidat yang diusung. Dalam hal ini, kehadiran selebritas seperti Al dan El merupakan vote gather bagi Partai Gerindra.
Selain itu, kehadiran keduanya juga sekaligus menjadi jembatan bagi Prabowo dan Gerindra untuk terhubung dengan pemilih pemula yang berasal dari kalangan generasi Y (milenial) dan generasi Z.
“Prabowo ini kan memiliki jarak yang begitu lebar dengan pemilih pemula dari generasi milenial maupun generasi Z. Oleh karena itu, Prabowo butuh jembatan untuk menghubungkannya dengan anak-anak muda pemilih pemula,” ungkapnya.
“Saya kira ini adalah manuver politik yang strategis,” tegasnya.
Meski dinilai sebagai langkah strategis, tetapi kehadiran selebritas di ranah politik ini sempat mengundang pro-kontra di kalangan warganet. Lantaran, mereka dinilai tidak cukup memiliki kapabilitas sebagai seorang politisi.
Akan tetapi, Hari beranggapan bahwa partisipasi selebritas pada ruang politik ini merupakan hal yang sah. Menurutnya, siapa saja yang mau berkomitmen memberikan waktu, pengabdian, dan gagasannya pada partai politik, maka berhak untuk terjun dan mengambil peran.
“Saya rasa mereka berhak. Urusan kapabilitas nanti di dalam juga akan ada bimbingan teknis, workshop, dan lain-lain,” pungkas dosen politik FISIP Universitas Airlangga tersebut.
(mar/pkip/bti)