Friday, April 26, 2024
HomeSains TeknologiLingkunganPelajar dan Tugas Generasi Muda Dalam Gerakan Keadilan Iklim

Pelajar dan Tugas Generasi Muda Dalam Gerakan Keadilan Iklim

Tanggal 4 Mei selalu diperingati sebagai hari bangkit Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi yang dibentuk pada tanggal 4 Mei 1947, tepat dua tahun setelah Indonesia merdeka, terpaut hanya beberapa bulan setelah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan. Tahun ini, usia PII genap 76 tahun. Mengutip Yudi Latif dalam buku Intelegensia Muslim dan Kuasa, kelahiran PII memiliki proyek yang bertujuan untuk melakukan islamisasi modernitas dan modernisasi (pemahaman, PR) Islam. Sementara itu, Djayadi Hanan dalam bukunya Gerakan Pelajar Islam, PII memiliki tujuan keagamaan sekaligus kebangsaan.

Keanggotaan PII dan sumber daya manusia yang mengisi strukturnya berasal dari generasi pelajar, biasanya dimulai dari sekolah menengah pertama sampai bangku kuliah. Meski demikian, di dalam PII dikenal adanya kader tunas, yang berasal dari pelajar di tingkat sekolah dasar.

Setelah 76 tahun PII berdiri, kita perlu memikirkan ulang tantangan serius yang menjadi musuh bersama. Hal ini penting dilakukan supaya gerakan PII menjadi kontekstual, relevan serta terarah.

Di antara tantangan terberat generasi muda, khususnya pelajar hari ini yang perlu dipikirkan adalah ancaman krisis iklim. Kenapa demikian? saya pernah menulis mengenai soal ini di Harian Republika (Jumat, 22 Juli 2022), Pikiran Rakyat (Jumat, 16 September 2022), dan beberapa sumber lain. Dampak krisis iklim penting dilihat terhadap generasi muda.

Akhir Februari 2022 lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merilis Laporan Penilaian Keenam (Assessment Report 6) yang wajib menjadi perhatian semua pihak. Laporan ini peringatan penting mengenai bahaya dampak krisis iklim yang harus dihadapi manusia. Dalam dua dekade mendatang, terjadi peningkatan temperatur global 1,5 derajat celcius. Akibatnya, muncul gelombang panas, banjir bandang berintensitas tinggi, kekeringan ekstrem.

Di Indonesia, krisis iklim memaksa lebih dari 34% orang hidup dengan kelangkaan air pada 2050. Produksi beras menurun enam persen dan jagung menurun 14% dari total produksi saat ini. Kenaikan temperatur, juga menempatkan Indonesia sebagai negara paling menderita secara global dengan naiknya permukaan laut. Sekitar 20 juta orang di Indonesia saat ini tinggal di wilayah yang rentan banjir rob.

Tingginya produksi emisi akan meningkatkan dua kali lipat jumah orang terdampak rob pada akhir abad ini. Di sektor perikanan, peningkatan suhu memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis serta mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24%.

Krisis iklim akan sangat berdampak pada generasi muda pada masa yang akan datang. Save the Children (2021) memperkirakan anak-anak Indonesia yang lahir pada 2020 berisiko menghadapi tiga kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, dua kali lebih banyak mengalami kekeringan, dan tiga kali lebih banyak gagal panen. Krisis iklim akan membuat jutaan anak-anak jatuh dalam kemiskinan jangka panjang.

Sementara itu, Unicef memperkirakan sekitar 25 juta anak akan mengalami kekurangan gizi akibat krisis iklim dan 100 juta anak lainnya akan menderita kekuraangan pangan. Dalam pada itu, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), mencatat anak-anak yang lahir pada 2016 akan berusia 34 tahun pada tahun 2050. Pada tahun tersebut, akan terjadi peningkatan suhu bumi, kenaikan air laut, dan peningkatan cuaca yang ekstrim.

Keresahan Generasi Muda Dan Keadilan Antargenerasi

Generasi muda, paling resah dengan situasi buruk planet bumi. Pada Januari 2021, UNDP menggelar survei global, People’s Climate Vote. Ini survei opini publik terbesar tentang krisis iklim yang dilakukan di 50 negara, mencakup 1,2 juta responden.

Di antara poin pentingnya, kaum muda di bawah 18 tahun percaya krisis iklim merupakan darurat global. Hampir 70% anak di bawah 18 tahun mengatakan demikian dibandingkan 65% dari usia 18-35, lalu 66% berusia 36-59, dan 58% di atas 60 tahun. Sebanyak 59% yang menyebut krisis iklim sebagai darurat global mengatakan, dunia harus segera melakukan segala hal yang diperlukan.

Kenapa anak-anak muda begitu resah dengan krisis iklim? Di antara jawabannya, karena pada masa yang akan datang, mereka akan mewarisi bumi yang rusak akibat pembangunan yang dipilih oleh generasi saat ini yang memegang kepemimpinan politik, baik di tingkat global maupun nasional.

Dengan demikian, pilihan pembangunan dan pengelolaan terhadap beragam sumber daya alam oleh generasi saat ini, akan memberikan dampak yang sangat panjang dan luas bagi generasi masa depan. Daya dukung dan daya tampung planet bumi sangat penting dipertimbangkan tak hanya untuk generasi hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Inilah yang dinamakan dengan keadilan antargenerasi.

Keadilan antar generasi, paling tidak, mengandung dua makna berikut, yaitu: pertama, setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat yang berkualitas dan mewariskannya pula pada generasi selanjutnya sehingga generasi ini memiliki kesempatan yang setara dalam kualitas fisik, ekologi, ekonomi dan sosial; dan kedua, generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbarui.

Keadilan antargenerasi adalah diskursus yang usianya belum panjang. Perbincangan mengenai hal ini dapat dilacak dalam sejumlah dokumen internasional seperti Deklarasi Rio de Janeiro 1992. Salah satu maknanya adalah generasi saat ini tidak boleh mewariskan sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbarui untuk generasi selanjutnya.

Di dalam kajian keislaman, keadilan antargenerasi dapat ditemukan dalam istilah al-‘adalatu bayna al-ajyal. Meski demikian, narasi ini belum mendapatkan ruang pembahasan yang memadai. Pada titik inilah, terdapat ruang yang sangat besar untuk memproduksi narasi keadilan antargenerasi dengan tiga pertimbangan berikut:

Pertama, Islam sangat mendorong keadilan antar generasi. Pesan Alqur’an kepada kita untuk khawatir jika meninggalkan keturunan yang lemah (Q.S. al-Nisa [4]: 9) adalah isyarat penting mengenai keadilan antargenerasi. Kata “lemah” dapat dimaknai sebagai suatu kondisi dimana daya dukung dan daya tamping planet bumi sudah hilang sehingga menyebabkan lahirnya generasi yang lemah kualitasnya akibat ketiadaan sumber daya alam yang memadai untuk menopang kehidupan mereka.

Lebih jauh, Alqur’an menyebut kata “anak” dengan berbagai konteksnya sebanyak 71 kali, dan menyebut kata “keturunan” sebanyak 33 kali. Penyebutan kata ‘anak’ dan ‘keturunan’ yang jumlahnya lebih dari 100 kali, menunjukkan betapa Islam sangat serius memerintahkan kita berpikir dan bertindak untuk mewujudkan keadilan antargenerasi.

Kedua, Nabi Muhammad saw., dalam haditsnya menegaskan untuk menanam pohon meskipun kiamat akan datang esok hari. “Jika kiamat akan datang esok,” kata Nabi, “sedangkan di tanganmu ada benih, maka tanamlah benih itu sebelum kiamat terjadi.” Pesan menanam dalam hadits ini sangat relevan dengan konsep keadilan antar generasi, dimana keadilan dan keberlanjutan planet bumi merupakan kunci penting di dalamnya.

Ketiga, Selain Alqur’an dan Hadits, akar-akar gagasan keadilan antargenerasi dapat ditemukan dalam konsep maqashid al-syari’ah. Konsep ini menyebut bahwa syariah diturunkan untuk menjaga lima hal primer (dharuriyatul khamsah) dalam kehidupan manusia, yaitu kehidupan (nafs), agama (din), harta kekayaan (mal), pemikiran (aql), dan keturunan (nasl).

Kini, perlindungan lingkungan (hifzhul bi’ah) telah dimasukkan sebagai salah satu poin penting dalam maqashid al-syari’ah. Dengan demikian, maqashid al-syari’ah mengalami pengembangan dari lima hal yang primer (dharuriyatul khamsah) menjadi enam hal yang primer (dharuriyatus sittah).

Maqashid al-Syari’ah adalah konsep yang berorientasi pada perlindungan kehidupan generasi yang akan datang, apalagi di dalamnya terdapat dua konsep perlindungan yaitu melindungi keturunan (hifzhul nasl) dan melindungi lingkungan hidup (hifzhul bi’ah).

Tugas Generasi Muda

Dengan jumlah generasi muda sekitar 172 juta jiwa, gerakan iklim di Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis. Sebagai bagian terpenting dari kelompok generasi muda, pelajar, dalam hal ini PII, wajib terlibat aktif bahkan menjadi inisiator dan aktor utama wacana dan aksi keadilan iklim ini.

PII wajib menghayati pesan Alquran yang menyebut kata bumi (al-ardh) lebih dari 450 kali. Banyaknya penyebutan ini mengindikasikan, keadilan sekaligus keberlanjutan planet bumi dengan beragam kehidupannya yang ada di dalamnya adalah misi penting ajaran Islam. Lebih jauh, terkait dengan penguasaan serta pengelolaan beragam sumber daya alam, Alqur’an selalu menggunakan kata-kata ‘kalian’ (antum atau kum) sebagai subjek pengelola bumi. Maknanya, sumber daya alam tidak boleh dikuasasi dan dikelola hanya oleh kelompok tertentu saja, melainkan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, Alqur’an banyak mengulang larangan berbuat kerusakan di muka bumi. Larangan tersebut mengindikasikan pentingnya menjaga bumi untuk generasi yang akan datang. Kata fasad yang disebut lebih dari 50 kali, digunakan Alqur’an untuk menggambarkan krisis yang memiliki dimensi lahir dan batin. Para ulama mendefinisikan fasad sebagai satu situasi dimana keseimbangan telah hilang dalam kehidupan (khuruj al-sya’i ‘an al-‘itidal). Dimensi lahir fasad adalah hancurnya beragam ekosistem penting, sedangkan dimensi batinnya adalah kerusakan itu disebabkan oleh rusaknya hati dan pikiran manusia dalam mengelola sumber daya alam.

Lebih jauh, PII wajib tergabung dalam gerakan keadilan iklim global, diantaranya dengan gerakan Friday for Future yang diinisasi oleh Greta Thunberg. Gerakan ini telah diikuti oleh lebih dari empat juta orang pelajar di lebih dari 125 negara. Tuntutannya, mendesak pemimpin dunia mengambil tindakan segera untuk mencegah krisis iklim serta mengubah sistem yang menyebabkan krisis iklim. Di Indonesia, gerakan ini juga telah dibentuk. Lebih jauh, PII perlu menjadi inisator atau terhubung dengan gerakan keadilan iklim di Indonesia.

Pada masa yang akan datang, gerakan keadilan iklim wajib dijadikan prioritas oleh PII untuk merespon empat hal berikut, yaitu: pertama, miskinnya perspektif keadilan iklim dalam diskursus keagamaan. Sampai hari ini, tak banyak para tokoh agama yang mengulas krisis iklim dalam karya-karya mereka; kedua, kuatnya dominasi dan hegemoni negara-negara industri dan perusahaan trans nasional, sebagai agen dari kapitalisme global, yang mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara berkembang; dan ketiga, masih kuatnya paradigma ekonomi pertumbuhan dalam pembangunan nasional yang mendorong beragam praktik eksploitasi sumber daya alam; keempat, masifnya dampak buruk krisis iklim bagi generasi muda.

Bangun Ekoliterasi

Banyak penjelasan mengapa krisis iklim terjadi, diantaranya adalah karena persoalan paradigmatik, politik, hukum, pendidikan, sosial dan budaya. Jika dilihat dari sisi paradigmatik, krisis iklim adalah buah dari hilangnya penghayatan religius manusia terhadap alam. Kitab Suci Alqur’an, misalnya, menyebutkan bahwa seluruh entitas di alam ini bertasbih memuji Allah swt. Pada titik ini, alam dilihat oleh Kitab Suci sebagai entitas sakral. Namun, penghayatan ini telah diganti oleh pandangan antroposentris, yang menyatakan bahwa alam hanyalah komoditas ekonomi yang disediakan untuk memenuhi kepentingan manusia. Dalam wacana Kapitalisme, alam diperlakukan sebagai alat untuk mengakumulasi keuntungan tanpa batas.

Dari sisi politik, krisis iklim terjadi karena sumberdaya alam adalah alat negosiasi para pihak yang akan maju dalam sebuah kontestasi politik praktis. Demi memenangkan suatu ajang pilkada, misalnya, para pihak tak segan memberikan ijon politik berupa konsensi kepada pihak-pihak yang berani memberikan “modal politik”. Jika calon yang didukung tersebut memenangkan pertarungan, maka ijon politik tersebut akan berubah menjadi ijin eksploitasi sumberdaya alam, dalam bentuk proyek pertambangan, perkebunan, properti, dan lain sebagainya. Selama satu periode kepemimpinan, tak sedikit kebijakan yang dikeluarkan untuk melayani kepentingan pemodal untuk mengeruk sumberdaya alam. Itulah fakta yang terjadi di Indonesia.

Dari sisi hukum, krisis iklim terjadi karena lemahnya penegakan hukum, khususnya hukum lingkungan. Padahal, Indonesia saat ini memiliki Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, Indonesia memiliki sejumlah aturan lain yang sangat kuat membela keberlanjutan lingkungan hidup, diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.

Dari sisi pendidikan, krisis iklim terjadi karena secara umum lembaga pendidikan di Indonesia masih mengabaikan persoalan planet bumi. Baik di lembaga pendidikan agama, maupun pendidikan umum, dua-duanya masih memposisikan Bumi sebagai alat untuk memenuhi kepentingan manusia. Jika di lembaga pendidikan umum, Bumi selalu didefinisikan sebagai objek pembangunan, maka di lembaga pendidikan agama, Bumi didefinisikan sebagai objek untuk konsep ke-khalifahan manusia. Lembaga pendidikan belum mampu membangun kesadaran kritis anak didik terhadap berbagai persoalan krisis di planet bumi.

Dari sisi sosial dan budaya, krisis iklim terjadi karena secara umum masyarakat di Indonesia masih belum memiliki kesadaraan dan kebiasaan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Maraknya pertambangan liar, membuang sampah sembarangan, abai terhadap deforestasi dan kerusakan di kawasan pesisir, juga turut memperparah bangunan krisis yang telah ada.

Pada titik inilah, kita semakin sadar bahwa krisis iklim adalah persoalan yang sangat kompleks. Ada persoaan kebijakan politik di satu sisi, tetapi ada juga persoalan pendidikan dan kebiasaan masyarakat di sisi lain. Untuk dapat memecahkan persoalan ini pada masa-masa yang akan datang, ada satu hal yang dapat kita lakukan saat ini, yaitu membangun gerakan ekoliterasi (Bahasa Inggris: ecoliteracy). Apa itu ekoliterasi? secara kebahasaan, ekoliterasi berasal dari dua kata: eco atau ecology, yang berarti ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia, alam, serta interaksi diantara keduanya; dan literasi (Bahasa Inggris: literacy) adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Daniel Goleman dalam buku Ecological Intelligence (2010), menjelaskan bahwa ekoliterasi adalah suatu gerakan tentang penyadaran kembali akan pentingnya kesinambungan atau kelestarian lingkungan hidup. Orang yang memiliki ekoliterasi diharapkan memiliki pemahaman yang komprehensif tentang aspek ekologis, baik ekologi manusia dan konsep kesinambungan lingkungan hidup sebagai alat untuk memecahkan masalah, khususnya krisis di planet bumi.

Dalam konteks politik dan hukum, PII harus membangun gerakan ekoliterasi dengan terlibat penuh di dalam berbagai forum perumusan perencanaan pembangunan, mulai dari tingkat nasional hingga ke tingkat desa. Jika keterlibatan di dalam forum perumusan perencanaan pembangunan dirasa berat, maka yang paling minimal adalah mempelajari dokumen-dokumen perencanaan permbangunan mulai dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), sampai dengan dengan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). Dalam konteks ini, kita diharapkan memiliki informasi yang utuh mengenai rencana pembangunan Indonesia dari pusat sampai ke desa, khususnya proyek pembangunan yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif.

Di dalam konteks pendidikan, sudah saatnya lembaga pendidikan menyusun satu kurikulum yang mengenalkan mengenai krisis ekologis, krisis iklim, dan dampaknya terhadap bencana di Indonesia. Lebih jauh dari itu, anak didik perlu dibangun perspektif kritis mengenai persoalan di Planet Bumi. Tujuannya, membangun kesadaran berpikir yang bersifat global, sekaligus mendorong mereka untuk bertindak lokal (to think globally, but act locally).

Perlu juga dibangun gerakan sosial dan budaya yang terus menerus mengkampanyekan keberlanjutan lingkungan di tingkat akar rumput. Salah satu hal yang dapat didorong adalah masyarakat perlu memulai gerakan kedaulatan pangan dengan cara membangun gerakan fermakultur atau agroekologi. Kampanye untuk tidak menggunakan plastik kemasan sekali pakai perlu terus ditingkatkan. Secara kultural, kearifan masyarakat yang mengemas makanan dengan menggunakan daun, perlu terus diringkatan untuk memiminalisir penggunaan plastik kemasan yang terbukti terus mencemari. Hal lain yang juga penting dilakukan di tingkat masyarakat adalah membudayakan untuk tidak menggunakan kendaraan berbasis bahan bakar fosil, seperti bensin, solar, dan lain sebagainya.

Untuk kebutuhan advokasi kebijakan, pada level sosial dan budaya, perlu dibangun satu konsolidasi strategis yang ditujukan untuk melakukan upaya kritik terhadap berbagai kebijakan publik yang dinilai akan melakukan eksploitasi sumber daya alam, merampas ruang hidup masyarakat, dan tentunya akan merugikan masyarakat pelajar.

Pada level yang lebih dalam, yaitu pada level paradigmatik, kita perlu terus mempelajari dan mengembangkan kajian-kajian ekologis yang ditilik dari tinjauan filsafat, fikih, tasawuf, maupun teologi. Sudah saatnya kita mengkaji pemikiran para penekun kebijaksanaan yang memiliki perhatian dan keprihatinan tehadap krisis ekologis. Di dalam tradisi pemikiran barat, kita harus mulai mempelajari gagasan yang ditulis oleh seorang Environmentalist Norwegia, Arne Naess tentang deep ecology, atau gagasan yang ditulis oleh Fritjof Capra tentang krtitiknya terhadap paradigma Cartesian-Newtonian yang mendorong orang untuk mengeksploitasi alam. Karya lain yang penting dipelajari juga adalah Marx’s Ecology karya John Bellamy Foster.

Di dalam tradisi Islam, gagasan yang dikembangkan oleh Said Nursi di dalam karya Risalah Nur sangat penting dipelajari. Tak hanya itu, karya-karya Seyyed Hossein Nasr, seperti Man and Nature, Islam and the Plight of Modern Man, dan Religion and the Order of Nature, adalah sejumlah karya penting. Selain Nursi dan Nasr, Ulama Fiqh semacam Yusuf Qardhawi juga menulis satu buku khusus mengenai hal ini dengan judul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam. Sebuah karya yang penting dipelajari, khususnya di lembaga-lembaga pesantren.

Ada juga karya-karya pemikir kontemporer. Diantaranya adalah Ibrahim Ozdemir, seorang filosof lingkungan berdarah Turki, dimana penulis pernah berada di bawah bimbingannya saat sedang menyelesaikan Tesis mengenai pemikiran Teologi Lingkungan Said Nursi. Salah satu karyanya yang penting adalah The Ethical Dimension of Human Attitude Towards Nature. Di Indonesia, kita mengenal sosok Fachruddin Mangunjaya, yang banyak bicara mengenai konservasi alam dari perspektif Islam.

Membangun gerakan ekoliterasi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tetapi akan berpengaruh terhadap cara pikir dan perilaku masyarakat dalam jangka panjang, bahkan akan terjadi perubahan kebijakan. Inilah proyek perubahan yang harus menjadi agenda bersama. Sebab jika ekoliterasi telah terbangun dengan kuat, maka masyarakat akan memiliki kesadaran mitigasi dan adaptasi krisis iklim sekaligus bencana yang dapat menyerang kapan saja.

Penutup

Krisis iklim, ibarat bom waktu. Ia bisa meledak kapan saja tanpa diketahui. Untuk mengatasi dampak buruk krisis iklim, kita tidak bisa lagi bertindak seperti pemadam kebakaran, menolong orang dan memberikan donasi kepada korban terdampak krisis iklim. Sudah saatnya kita menyelesaikan persoalan ini dimulai dari hulunya, yaitu menyelesaikan krisis iklim dengan cara membangun gerakan ekoliterasi.

Gerakan ekoliterasi harus menjadi agenda PII untuk masa depan planet bumi. Ia bisa dimulai dari pintu pendidikan yang berlanjut ke pintu sosial-budaya, politik, hukum, bahkan agama. Gerakan ini harus semakin dimasifkan karena krisis iklim dan bencana terus terjadi dengan tingkat keparahan yang semakin tinggi.

Akhirnya, planet bumi akan terus rusak dan bencana akan terus datang menerjang jika kita tidak segera memulai gerakan ekoliterasi dari rumah, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Memahami krisis planet bumi memang butuh pemahaman global yang bersifat komprehensif, tetapi gerakannya harus dimulai dari konteks lokal. Jika bukan kita siapa lagi? Jika bukan sekarang, lalu kapan lagi?

 

PARID RIDWANUDDIN

Eksekutif Nasional WALHI, Anggota LHKP PP Muhammadiyah dan PB PII 2008-2010

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular