
Siapa yang tidak terkejut dan tertohok mendengar kabar seorang ibu muda melakukan kekerasan seksual terhadap 17 anak di Jambi? Kasus itu hanyalah satu dari sedikit yang terungkap. Masih banyak perempuan pelaku pedofilia yang belum terkuak kebenarannya karena bersembunyi di balik status sosial sebagai istri, ibu, atau bahkan simbol kesalehan dengan busana religiusnya. Masyarakat perlu sadar dan teredukasi bahwa di balik hiruk-pikuk isu politik, pemerintahan, korupsi, atau ekonomi, ada bahaya yang lebih dekat dan nyata yakni tipu daya oknum manusia yang tampak normal, tetapi memiliki kelainan kejiwaan dan orientasi seksual menyimpang.
Perempuan, yang sejatinya menjadi sosok ibu dan tempat anak berlindung dan berteduh, dalam kasus ini justru menjelma menjadi predator seksual bagi anak-anak kecil. Fenomena tersebut diangkat dalam buku “Perempuan Predator Seksual dalam Perspektif Hukum Islam” (2025) yang meneliti kasus seorang ibu di Jambi pelaku kekerasan seksual terhadap belasan anak di bawah umur pada 2023. Fenomena ini sulit diterima akal sehat. Namun, di era digital dengan arus konten media sosial yang bebas, paradigma pun bergeser. Jika dulu pelaku pelecehan identik dengan laki-laki, kini perempuan, religius, bahkan berstatus ibu dan istri sah di mata negara, juga dapat menjadi predator seksual.
Hal yang paling mencengangkan, pelaku bukan hanya seorang istri, tetapi juga seorang ibu. Sulit dibayangkan bagaimana seorang perempuan yang pernah hamil, melahirkan, dan menyusui, justru memiliki hasrat terlarang kepada anak-anak yang semestinya dilihat seperti anak kandung sendiri. Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari derasnya paparan konten dewasa di media sosial. Algoritma digital memungkinkan individu dengan penyimpangan seksual saling terkoneksi melalui komunitas daring yang menyimpang, baik di Facebook, Instagram, Threads, atau platform lainnya. Mereka merasa tidak sendiri dan menganggap perilaku menyimpang itu wajar karena mendapat “dukungan” dari orang-orang dengan kelainan serupa di berbagai belahan Indonesia, bahkan dunia. Psikolog Elly Risman Musa, pernah mengungkapkan bahwa hampir setiap provinsi di Indonesia pernah memiliki kasus incest.
Meningkatnya fenomena pedofilia, LGBT, dan incest terselubung di era ini patut menjadi alarm bagi kita semua. Seberapa yakin kita, sebagai orang tua, bahwa anak-anak berada di lingkungan yang aman? Apakah keluarga kita benar-benar terlindungi? Kesadaran akan pentingnya keamanan ini harus menjadi prioritas, bahkan lebih penting dari kekhawatiran kita terhadap isu korupsi, ekonomi, atau politik. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak masyarakat untuk membuka mata dan kesadaran bahwa bahaya yang paling nyata bisa justru berada di sekitar kita sendiri.
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, termasuk calon disertasi penulis yang mengangkat fenomenologi pedofilia, ditemukan bahwa pelaku kekerasan seksual seringkali datang dari orang-orang terdekat seperti oknum guru, ustadz, pimpinan panti asuhan, atau bahkan kerabat sedarah seperti om dan tante. Di sinilah konsep relasi kuasa menjadi penting untuk dipahami.
Menurut filsuf Michel Foucault, sebagaimana dijelaskan oleh Ketut Wiradnyana dalam “Arkeologi Pengetahuan dan Pengetahuan Arkeologi” (2018), kekuasaan adalah jaringan relasi yang tersebar di mana-mana. Kekuasaan tidak semata represif, melainkan produktif dan menciptakan subjek, karena selalu terkait dengan pengetahuan. Jika teori ini diterapkan pada relasi antara pelaku dan korban pelecehan, tampak jelas bahwa pelaku sering memiliki posisi kuasa lebih tinggi baik dari segi usia, pendidikan, maupun status sosial dan agama. Dalam komunikasi interpersonal, status ini memudahkan pelaku memanipulasi, menekan, dan membungkam korban agar tidak berani melapor.
Foucault menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya dimiliki negara, tetapi hadir dalam setiap relasi sosial seperti di sekolah, keluarga, tempat ibadah, bahkan dunia digital. Kekuasaan bekerja lewat persuasi, regulasi, dan pengaruh yang membatasi perilaku individu. Dari teori ini kita belajar bahwa pelecehan seksual kerap terjadi dalam konteks relasi kuasa dimana pelaku merasa memiliki otoritas atas korban yang lebih muda atau lebih lemah.
Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah meninjau ulang sistem rekrutmen pegawai, khususnya tenaga pendidik dan aparat publik. Seleksi ke depan tidak cukup hanya mengandalkan tes psikologi umum, tetapi juga harus mencakup pemeriksaan khusus untuk mendeteksi penyimpangan perilaku seksual atau kecenderungan kelainan kejiwaan. Stay safe and protect our children. Be aware!
ADELIA WINDA HAPSARI
Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga



