
Periklanan tidak hanya berfungsi sebagai sarana promosi, tetapi juga sebagai wahana representasi budaya. Pengaruhnya meluas hingga ke proses internalisasi nilai-nilai, pembentukan perilaku, dan konstruksi identitas sosial individu. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, dimensi yang menarik sekaligus kontroversial untuk ditelaah adalah representasi gender dalam periklanan. Gender, yang dipahami sebagai konstruksi sosio kultural terkait peran, ekspektasi, dan tindakan yang dilekatkan pada laki-laki maupun perempuan, kerap digambarkan secara tidak seimbang dalam iklan. Wacana seputar gender dalam periklanan mencerminkan ketegangan antara kepentingan industri, narasi budaya dominan, dan dinamika masyarakat. Sementara periklanan berpotensi melanggengkan stereotip lama, ia juga memiliki peluang untuk menjadi sarana perubahan yang lebih progresif. Tulisan ini akan menelaah secara kritis peran periklanan dalam penggambaran gender, potensi dampak negatifnya, serta prospek untuk mendorong praktik periklanan yang lebih adil dan inklusif.
Setiap iklan senantiasa memuat konotasi budaya tertentu. Salah satu manifestasinya tampak pada bagaimana iklan mengonstruksi peran sosial laki-laki dan perempuan. Dalam banyak kasus, iklan justru memperkuat pembagian peran gender yang konvensional. Perempuan sering digambarkan sebagai sosok lembut, menarik, pengasuh, dan simbol ranah domestik. Sebaliknya, laki-laki ditampilkan sebagai rasional, kuat, maskulin, dan mewakili ruang publik. Representasi semacam ini mempertegas dikotomi gender yang tidak mencerminkan kompleksitas realitas sosial. Contoh yang menonjol tampak dalam iklan produk rumah tangga seperti deterjen, sabun, atau peralatan masak yang hampir selalu menampilkan perempuan sebagai pengguna utama. Sementara itu, iklan mobil, rokok, atau minuman energi lebih sering menonjolkan laki-laki. Fenomena ini menunjukkan bahwa iklan tidak hanya menjual produk, tetapi juga menyebarluaskan “citra gender” yang dilekatkan pada produk tersebut.
Aspek paling mencolok dalam relasi antara gender dan periklanan adalah objektifikasi tubuh manusia. Tubuh perempuan, dan belakangan juga tubuh laki-laki, sering direduksi menjadi daya tarik estetis semata. Media, termasuk iklan, kerap menampilkan perempuan melalui lensa laki-laki heteroseksual, menjadikan tubuh mereka objek penilaian visual, kepuasan, dan konsumsi. Akibatnya, muncul paradigma kecantikan yang sempit yakni perempuan dianggap menarik jika berkulit putih, bertubuh ramping, dan memiliki wajah simetris; sedangkan laki-laki dianggap ideal jika tinggi, berotot, dan tampak kuat (Mulvey, 1975). Standar yang tidak realistis ini menimbulkan tekanan sosial, terutama di kalangan muda yang menjadikan iklan sebagai tolok ukur gaya hidup. Tekanan tersebut kerap berujung pada masalah psikologis seperti rendahnya kepercayaan diri, gangguan makan, atau obsesi terhadap tubuh ideal. Objektifikasi dalam iklan merupakan bentuk kekerasan simbolik yang memang tidak menimbulkan luka fisik, tetapi menanamkan rasa ketidakmampuan yang mendalam. Karena itu, isu gender dalam periklanan penting diperhatikan, sebab berhubungan langsung dengan kesejahteraan psikososial masyarakat.
Ketika gerakan kesetaraan gender semakin menguat dan kesadaran konsumen meningkat, sejumlah merek besar mulai meninggalkan stereotip usang serta menampilkan keberagaman gender secara lebih inklusif. Kampanye Dove Real Beauty, misalnya, menampilkan perempuan dengan berbagai ukuran tubuh, warna kulit, dan usia. Demikian pula, iklan Nike memperlihatkan atlet perempuan berhijab, menegaskan bahwa perempuan dari latar belakang budaya beragam layak mendapat tempat dalam wacana global tentang kekuatan dan pencapaian. Bahkan, sejumlah iklan produk rumah tangga kini menggambarkan laki-laki yang aktif dalam pengasuhan dan kegiatan domestik. Transformasi ini menandakan meningkatnya kesadaran industri periklanan bahwa audiens modern memiliki lensa kritis dan menuntut representasi yang autentik. Perubahan tersebut sejalan dengan konsep performativitas gender (Butler, 1990), yang menegaskan bahwa gender bukanlah sifat biologis tetap, melainkan konstruksi sosial yang dapat dinegosiasikan. Artinya, iklan sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menggambarkan gender secara lebih cair dan beragam.
Dalam era digital, kompleksitas representasi gender dalam iklan semakin beragam. Media sosial telah melahirkan bentuk baru periklanan melalui influencer dan pembuat konten yang tak hanya mempromosikan produk, tetapi juga mengonstruksi gaya hidup dan identitas gender tertentu. Fenomena ini menghadirkan dua sisi dimana di satu sisi, media digital memperluas ruang bagi representasi gender yang beragam dan lebih inklusif. Namun di sisi lain, algoritma media sosial yang mengutamakan konten menarik secara visual justru memperkuat pola objektifikasi. Tubuh dan wajah yang sesuai standar kecantikan konvensional tetap memperoleh keterlibatan tertinggi, memperpanjang bias yang sudah mengakar. Dengan demikian, meski ruang digital membuka peluang bagi representasi yang lebih beragam, tanpa kesadaran kritis, ia justru bisa menjadi saluran baru bagi replikasi stereotip gender.
Iklan yang muncul di layar kaca maupun media digital membentuk cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Seorang perempuan, misalnya, bisa merasa minder karena tidak sesuai dengan standar kecantikan yang terus direproduksi iklan. Gambaran perempuan sebagai sosok domestik juga terus menguat karena iklan menegaskannya berulang kali. Namun, di sisi lain, muncul pula iklan-iklan progresif yang membawa pesan positif, misalnya iklan layanan masyarakat yang menampilkan sosok ayah penyayang dan peduli anak, atau kampanye yang menegaskan bahwa kecantikan sejati bersumber dari kepercayaan diri, bukan semata penampilan fisik. Kehadiran iklan seperti ini membuka ruang refleksi bahwa peran gender dapat dinegosiasikan dan tidak harus dikotakkan. Sebaliknya, iklan yang bias gender berisiko memperkuat ketimpangan sosial dan menimbulkan tekanan psikologis, sedangkan iklan yang peka terhadap isu gender dapat menumbuhkan kesadaran kritis, memberi inspirasi, dan memperkuat nilai kesetaraan.
HENDRO ARYANTO
Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga



