
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Suara ketikan keyboard berpadu dengan lantunan ayat-ayat suci. Di sebuah ruangan bercat putih, belasan anak muda duduk menghadap layar komputer. Tangan mereka lincah mengatur tata letak desain, mengedit video pendek berisi pesan damai, hingga menyusun strategi distribusi konten dakwah di media sosial.
Pemandangan itu tak terjadi di sebuah agensi digital atau studio kreatif. Tapi di dalam kompleks sebuah pesantren. Namanya Pesantren Digipreneur Al-Yasmin, pesantren yang mencoba menyatukan zikir dan klik, mukaddimah dan microtargeting, tadarus dan konten kreatif.
Didirikan dengan semangat perubahan oleh Helmy M Noor, pesantren ini tak hanya mendidik santri dalam ilmu agama, tapi juga memoles keterampilan digital menjadi jalan dakwah. Sebab, bagi Helmy, dakwah tidak boleh kalah cepat dari algoritma.
“Dunia maya sudah menjadi kenyataan. Kalau kita tidak hadir di sana, maka ruang itu akan dikuasai oleh kebencian, hoaks, dan ajaran ekstrem,” ujar Helmy, saat ditemui Cakrawarta, Minggu (15/6/2025) di Kompleks Pesantren Digipreneur Al-Yasmin, Surabaya.
Ia menyebut, titik tolak gagasan Al-Yasmin berasal dari wejangan mendiang KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU (2000-2010), yang pernah berpesan agar dunia dakwah tak alergi terhadap modernitas. Dakwah harus bergerak ke dunia digital, membawa pesan Islam yang sejuk dan penuh rahmat.
“Beliau bilang, dakwah itu tidak boleh statis. Harus bisa berbicara dalam bahasa zaman. Dan bahasa zaman kita hari ini adalah visual, viral, dan digital,” kenang Helmy.
Menjawab Tantangan Zaman
Nama “Digipreneur” yang disematkan pada Al-Yasmin bukanlah tempelan semata. Pesantren ini berdiri dengan dua misi utama: dakwah digital dan pemberdayaan ekonomi. Dua hal yang sering kali terpisah dalam pendidikan pesantren, tapi kini dirajut dalam satu ruang yang dinamis.
“Kami ingin para santri ini tidak hanya fasih mengaji, tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilai Qur’ani lewat video, podcast, desain, atau musik. Dan yang penting, mereka bisa hidup dari itu,” jelas Helmy.

Ia mencatat, banyak santri yang sebenarnya memiliki potensi luar biasa dalam dunia kreatif digital. Sayangnya, setelah lulus dari pondok dan kembali ke masyarakat, potensi itu sering kali layu, tidak ada ruang untuk berkembang, tidak ada wadah untuk tumbuh.
“Padahal mereka bisa desain, bisa bikin konten edukatif. Tapi karena tidak punya pembinaan lanjutan, akhirnya hilang. Maka kami ingin menjembatani. Dari hobi jadi dakwah. Dari layar jadi ladang amal,” imbuhnya.
Mengintegrasikan Dunia Pesantren dan Ekosistem Kreatif
Di kompleks Pesantren Al-Yasmin, para santri tidak hanya belajar fikih, tafsir, atau tahfidz. Mereka juga mendapatkan pelatihan intensif dalam bidang-bidang kekinian seperti public speaking, graphic design, content writing, digital marketing, hingga pertanian digital.
Seluruh kegiatan ini dibingkai dalam beberapa program utama. Mulai yang nantinya kamar pesantren khusus perempuan atau santriwati, yang diperuntukkan bagi wanita muda atau santriwati yang mana program ini mengombinasikan pembinaan spiritual dan pelatihan soft skill digital. Mulai dari dakwah digital, vokal dan musik, hingga pembuatan konten profesional.
“Kenapa untuk santriwati atau kaum perempuan? Karena saat ini industri kreatif ini khususnya di kalangan muslim masih didominasi kaum laki-laki. Setelah diskusi dan mendapatkan masukan dari para ulama saat kami sowan, akhirnya pesantren untuk yang mukim memang dikhususkan untuk perempuan atau santriwati,” papar Helmy. Di Al-Yasmin nantinya disiapkan beberapa kamar, baik yang satu kamar terdiri dari beberapa santriwati maupun yang konsepnya seperti kamar kos khusus perempuan.
Kedua, pesantren yang tematik. Sebuah konsep pembelajaran berbasis tema dan minat. Ada tema pertanian digital, media kreatif, periklanan, sosialita, bahkan pesantren lansia. Formatnya fleksibel, pendek, dan aplikatif sehingga cocok untuk masyarakat urban yang haus ilmu tapi kekurangan waktu ataupun anak muda yang kerap menyukai beberapa tema tertentu. Karena nantinya, pesantren ini juga membuka kelas-kelas yang diisi santri/wati yang tidak mukim sehingga terbuka untuk umum.
Di Al-Yasmin nantinya terdapat Kafe khusus tempat nongkrong anak muda termasuk dilengkapi alat musik berupa piano untuk live music yang sangat digandrungi anak muda.
“Pesantren ini terdiri dari 3 lantai dimana lantai satu fokus pada ruang berkegiatan dan aktivitas. Lalu lantai 2 ruang pembelajaran dan lantai 3 fokus pada asrama santriwati,” ujar Helmy.
Antara Dunia Layar dan Ladang Amal
Yang membuat Al-Yasmin istimewa adalah pendekatannya yang mengakui dunia digital bukan ancaman, tapi peluang. Helmy menyadari, algoritma bisa menjadi alat dakwah termasuk jadi ladang profesi, asal tahu caranya. Bahkan, ia percaya pahala bisa mengalir dari setiap jempol yang menyebarkan kebaikan.
“Kalau narasi kebencian bisa viral, kenapa dakwah damai tidak bisa? Ini soal siapa yang lebih dulu menebar dan mampu memahami logika algoritma. Karena viralitas yang dikonsumsi publik lebih banyak ditentukan oleh algoritma itu sendiri,” katanya.
Helmy juga membangun kolaborasi dengan berbagai komunitas kreatif, praktisi digital, hingga pelaku industri media termasuk dengan berbagai tokoh dan lembaga pendidikan lainnya. Ia ingin memastikan bahwa santri tidak merasa minder di hadapan tantangan zaman, tapi justru tampil sebagai pembawa perubahan.
“Poin utamanya selain kemampuan digital juga bergerak dalam semangat sinergi dan kolaborasi,” tegasnya.
Harapannya ke depan, para alumni Al-Yasmin bisa bekerja sebagai desainer profesional, content creator, bahkan pengusaha digital yang tetap teguh dengan nilai-nilai Islam. Ada yang membuka agensi dakwah kreatif, ada pula yang menjadi dai di TikTok dengan jutaan views, bukan karena sensasi, tapi karena pesan yang menyentuh sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.
Mimpi yang Mulai Menjelma
Helmy sadar, perjuangannya belum selesai. Al-Yasmin masih dalam tahap pengembangan, dan banyak cita-cita besar yang belum seluruhnya terwujud. Namun satu hal yang membuatnya terus melangkah adalah keyakinan: bahwa zaman digital juga membutuhkan santri, dan santri bisa menjadi pelita di zaman gelap ini.

“Kami tidak sedang membangun pesantren biasa. Kami sedang membangun generasi. Generasi yang saleh, kreatif, dan mandiri. Yang bisa berdakwah bukan hanya di mimbar, tapi juga di layar, dan kemampuan itu tidak hanya menjadi soft skills melainkan juga menjadi sumber penghasilan alias profesi,” ucap Helmy mantap.
Dan jika di masa lalu santri dikenal dengan kitab dan sarungnya, kini mereka tampil dengan kamera, mikrofon, dan editing software. Tapi misinya tetap sama: menyampaikan pesan kebaikan, menyebarkan rahmat, menebar ukhuwah.
Dari hobi menjadi dakwah. Dari layar menjadi ladang amal. Inilah jejak baru para dai digital dari Pesantren Al-Yasmin.(*)
Kontributor: Abdel Rafi
Editor: Tommy



