Hari-hari belakangan ini muncul wacana publik agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung ditinjau kembali karena mahal. Diusulkan agar Pilkada dilakukan saja oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Nanti pemilihan presiden (Pilpres) langsung yang jauh lebih mahal juga ditinjau kembali. Kemungkinan besar Pilpres 2029 akan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Padahal ada sebab lain yang lebih mendasar bukan cuma inefisiensi Pilpres dan Pilkada sebagai mekanisme rekrutmen eksekutif.
Pilpres dan pilkada langsung didaku oleh kaum reformis sebagai pencapaian puncak gerakan reformasi 1998 dan masyarakR sipil (civil society) dalam menumbangkan otoriterianisme Orde Baru yang militeristik. Upaya-upaya untuk Kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum diamandemen dituding sebagai agenda tentara sekaligus ancaman terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal 3 Agenda reformasi yaitu demokratisasi, desentralisasi dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) setelah 10 tahun pemerintahan Jokowi kini terbukti gagal. Para die hard Jokower seperti Goenawan Moehammad (GM), Butet Kartarajasa, Islah Bahrawi, Ikrar Nusabakti, dan Todung Mulya Lubis bahkan romo Frans Magnis, sejak Pilpres 2024 berbalik menjadi penentang Jokowi yang paling keras. Mereka ini menyebut dekadensi demokrasi. Padahal Jokowisme adalah anak kandung UUD 2002 yang mereka banggakan.
Eksperimen politik liberal yang “sok-demokratik” dan “sok-HAM” sudah terlalu banyak korbannya. Sejak UUD 2002 berlaku, yang terjadi justru deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara dimana “maladministrasi publik” marak di mana UU dibuat untuk kepentingan oligarki yang mensponsori partai politik (parpol). Omnibus Law (UU Cipta Kerja) mengambil kembali banyak kewenangan daerah otonom. Berbagai proyek strategis nasional sangat bias politik, dan top down berpotensi merusak lingkungan, dan menggusur penduduk. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pemusatan sumberdaya ekonomi makin parah ke segelintir orang. Yg semula cuma ersatz capitalism kini berkembang pesat menjadi full fledged capitalism. Ini saya sebut buah “demokrasi mbelgedhes“.
Salah satu akar masalahnya adalah monopoli politik secara radikal oleh partai-partai politik sebagai satu-satunya institusi yang bisa mengajukan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Calon independen untuk pilkada boleh dikatakan menemui kesulitan. Seperti monopoli ekonomi menyebabkan inefisiensi dan eknomi biaya tinggi, monopoli politik menyebabkan inefisiensi dan politik biaya tinggi. Monopoli politik oleh Parpol ini harus segera diakhiri dengan memberi kesempatan pada institusi-institusi lain untuk mengajukan calon-calon pemimpin eksekutif maupun legislatif.
Rekrutmen pemimpin eksekutif secara langsung tidak saja inefisien tapi juga tidak efektif. Kita perlu melakukan nation building, tapi juga institutional building di mana peran negara, sektor swasta dan masyarakat tumbuh bersama. Institusi-institusi itu sebenarnya merupakan wakil-wakil warga untuk mengagregasikan aspirasi dan kepentingan mereka agar keputusan2 publik bisa dicapai dalam sebuah game yang lebih terkelola, sekaligus mengurangi potensi-potensi chaos akibat players yang terlalu banyak. Menurut hadits, jika ada 3 orang berkumpul, mereka perlu segera mengangkat pemimpin sebagai wakil mereka. Kata wakil itu sendiri diambil dari bahasa Qur’an yang berarti pemimpin.
Menyerahkan pemilihan presiden secara langsung kepada 160 juta pemilih yang tersebar di 800 ribu tempat pemungutan suara (TPS) di sebuah bentang alam kepulauan seluas Eropa dengan kesenjangan informasi dan pengetahuan yang lebar serta kebanyakan rationally ignorant adalah resep manjur bagi asal coblos lalu asal pilih karena berlaku Olsonian logic of collective action. Intervensi, cawe-cawe, intimidasi, penggalangan, politik uang dan propaganda menjadi bagian tak terpisahkan dalam Pilpres ala Indonesia ini. Yang terjadi adalah asal coblos massal presiden petugas partai, bukan cermat pilih melalui musyawarah bil hikmah presiden mandataris MPR.
Kekuasaan eksekutif atau kerakyatan harus dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan yang hanya bisa diperoleh melalui permusyawaratan oleh wakil-wakil kita di MPR. Itulah prinsip dasar yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Memilih istri saja sulit apalagi memilih presiden secara rasional. Menyerahkannya melalui coblosan kertas suara adalah cara paling barbar, jika bukan primitif. Memang jika rekrutmen anggota parpol hanya mengandalkan elektabilitas dan popularitas, maka motif untuk musyawarah itu ternyata nyaris hilang walaupun kini semakin banyak anggota parlemen yang bergelar profesor dan doktor.
Surabaya, 20 Desember 2024
DANIEL M ROSYID
Guru Besari Penikmat Isu-Isu Kebangsaan, tinggal di Surabaya