Harapan akan suatu perubahan ke arah yang lebih baik, itulah sejatinya yang diinginkan seluruh manusia, setiap saat dimanapun mereka berada. Harapan untuk lebih baik tersebut, nampaknya pun telah dipahami oleh pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang akan berlaga pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang, baik kubu Joko Widodo (Jokowi)-KH. Ma’ruf Amin dan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Perbedaannya, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin menangkap sinyal perubahan dengan perspektif yang positif, sementara pihak Prabowo-Sandi melihatnya dari sudut pandang negatif. Yang nampak kemudian dari keduanya adalah, kubu pasangan nomor 01 Jokowi-Ma’ruf Amin senantiasa menyampaikan harapan akan adanya perubahan yang lebih baik, sementara kubu pasangan nomor 02 Prabowo-Sandi senantiasa menyampaikan pesimisme.
Prabowo misalnya pernah menyampaikan bahwa Indonesia akan bubar 2030, dengan melansir suatu novel. Beliau juga dalam berbagai kesempatan menyampaikan narasi seperti “negara terancam bangkrut”, “kita dijajah aseng dan asing”, “rakyat kita melarat”, “ekonomi kita carut-marut” dan lain-lain narasi yang menunjukkan pesimisme beliau akan adanya perubahan ke arah yang lebih baik.
Sebaliknya, Jokowi yang masih menjabat sebagai Presiden, senantiasa menyampaikan optimisme atas akan adanya harapan perubahan ke arah yang lebih baik. Beliau misalnya menyampaikan bahwa “tingkat kesenjangan ekonomi masyarakat berhasil diturunkan”, “penggangguran berhasil dikurangi”, “pemerataan kesejahteraan senantiasa diupayakan”, “bangsa kita bisa bersaing dengan bangsa-bangsa” lain di pentas global dan seterusnya.
Terlepas apa yang disampaikan Jokowi dan Prabowo itu sesuai realitas, atau tidak, kami berkesimpulan bahwa Jokowo memilih narasi dipengaruhi aura positif, sementara Prabowo memilih narasi dipengaruhi aura negatif.
Pengaruh Narasi
Suatu narasi yang disampaikan oleh figur yang berpengaruh memiliki kekuatan perubahan dalam suatu masyarakat. Narasi yang positif akan berpengaruh secara positif, dan narasi yang negative pun dengan sendirinya akan berpengaruh secara negative.
Kalam kasus Jokowi dan Prabowo, pengaruh narasi mereka faktualnya dapat kita lihat dari narasi yang turut dibangun maupun sikap agresivitas para pendukung mereka.
Pendukung Prabowo, nampak sangat kuat memiliki insting untuk menangkap hal-hal yang negatif, lalu menyebarluaskannya ke berbagai media sosial mereka. Agresivitas mereka sangat tinggi untuk mengerahkan massa turun ke jalan menyuarakan narasi-narasi yang kuat dipengaruhi aura negatif.
Sebaliknya, agresivitas pendukung Jokowi tidak terlihat secara signifikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh para pendukung Prabowo.
Pilihan narasi, adalah pilihan politik dari masing-masing calon. Siapakah yang lebih disukai masyarakat? Biarlah masyarakat menentukan sendiri pilihannya. Apapun pilihan masyarakat pasti yang terbaik bagi hadirnya masa depan yang lebih baik.
Halim Perdana Kusumah, Jakarta, 10 November 2018
HASANUDDIN
Asisten Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Otonomi Daerah dan Percepatan Pengentasan Kemiskinan