
Sumatera, sebagai episentrum biodiversitas dan wilayah yang rentan bencana, kini mencerminkan krisis etika dan spiritual yang mendalam. Peningkatan signifikan bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara di akhir November 2025 lalu, bukan sekadar “takdir” atau anomali alam, melainkan konsekuensi langsung dari fasad (kerusakan) yang disebabkan ulah manusia. Fikih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah) menegaskan bahwa bencana adalah cerminan kegagalan relasi horizontal dengan alam (hablum minal alam). Al-Qur’an secara eksplisit menghubungkan kerusakan lingkungan dengan aktivitas manusia dalam Surah Ar-Rum Ayat 41:
“ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ”
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Allah membuat mereka merasakan sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Hal ini senafas dengan konsep Revenge of the Earth yang dikemukakan oleh ilmuwan iklim James Lovelock dalam bukunya The Revenge of Gaia (2006), di mana ia berargumen bahwa sistem Bumi (Gaia) akan merespons gangguan ekologis yang parah dari manusia melalui perubahan dramatis, termasuk bencana, sebagai mekanisme koreksi diri untuk mencapai keseimbangan baru yang mungkin tidak mendukung peradaban manusia saat ini
Dari Antroposentrisme ke Kegagalan Khalifah
Akar krisis ini adalah penyimpangan dari peran hakiki sebagai khalifah fil ardh (pengelola yang bertanggung jawab), yang digantikan oleh pandangan antroposentris eksploitatif. Kegagalan ini senafas dengan kritik yang diangkat oleh filsuf Norwegia, Arne Næss, melalui kerangka Ekologi Mendalam (deep ecology). Dalam bukunya Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (1989), Næss menolak antroposentrisme dan menyerukan pengakuan atas nilai intrinsik alam, bukan hanya nilai instrumental bagi manusia. Pandangan fiqh al-bi’ah bahwa kekhalifahan adalah mandat ri’ayah (pemeliharaan) sejalan penuh dengan prinsip Arne Næss yang menyatakan, “prinsip penting adalah bahwa semua bentuk kehidupan memiliki hak untuk hidup dan berkembang (dan ini adalah sebuah nilai intrinsik), dan nilai kehidupan non-manusia harus dihormati terlepas dari kegunaannya bagi tujuan manusia.” Selain itu, Imam Thabari dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, mengaitkan larangan merusak tanam-tanaman dan ternak ( Al-Baqarah: 205) dengan hukuman dan laknat, menunjukkan bahwa merusak lingkungan adalah dosa sekaligus pemicu bencana alam.
Data Ilmiah dan Imperatif Etika Tanggung Jawab
Klaim teologis dan filosofis ini diperkuat oleh data ilmiah. Dr. Ir. Hatma Suryatmojo (UGM), peneliti hidrologi hutan, menegaskan bahwa bencana banjir bandang 2025 diperparah oleh rapuhnya benteng alam hulu -sebuah fasad ekologis- dan hilangnya fungsi hidrologis hutan alami. Curah hujan ekstrem hanyalah pemicu awal. Hutan utuh, misalnya, mampu menahan air hujan hingga 15-35\% melalui intersepsi dan infiltrasi hingga 55\%. Kerusakan ekosistem ini, ditandai dengan deforestasi masif (Sumatera Barat kehilangan total \pm 740.000 ha tutupan pohon), menyebabkan limpasan permukaan (surface runoff) yang merusak. Kegagalan manusia memperhitungkan dampak jangka panjang dari deforestasi ini selaras dengan peringatan filsuf Jerman, Hans Jonas, melalui konsep Etika Tanggung Jawab (The Imperative of Responsibility). Dalam bukunya The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (1984), Jonas mendesak perumusan etika yang mampu menghadapi dampak teknologi modern. Pelanggaran fasad ekologis di Sumatera adalah contoh nyata kegagalan menjalankan imperatif Hans Jonas, “bertindaklah sedemikian rupa sehingga dampak tindakanmu sesuai dengan kelangsungan hidup kehidupan yang otentik di bumi.”
Fikih Institusi dan Kedaulatan Moral
Solusi tata ruang dan kebijakan untuk mitigasi bencana harus berakar pada Fikih Institusi Islam. Konsep al-hima (kawasan lindung) yang ditetapkan Nabi Muhammad SAW untuk kepentingan umum harus menjadi dasar legitimasi syariat bagi taman nasional. Demikian pula, konsep al-harim (zona penyangga) harus diterapkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai yang hilang. Prinsip ushul fikih La Darara wa La Dirara atau tidak boleh ada kemudaratan, membatalkan aktivitas ekonomi yang membawa dampak destruktif (banjir), sejalan dengan larangan surat Al-A’raf Ayat 56:
“وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا”
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.”
Lebih lanjut, kaidah dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-masalih atau mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kemanfaatan, menegaskan bahwa keuntungan ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam Sumatera tidak boleh didahulukan jika risikonya adalah kerusakan ekologis permanen. Majelis Ulama Indonesia telah memberikan legitimasi moral melalui Fatwa Nomor 30 Tahun 2016 yang menyatakan perusakan hutan yang menimbulkan mudharat hukumnya haram.
Menuju Taubat Bi’iyyah Kolektif
Bencana hidrometeorologi Sumatera adalah panggilan menuju Tobat Ekologis (taubat bi’iyyah), sebuah kesadaran kolektif untuk berhenti menzalimi alam. Sikap para perusak lingkungan yang sering mengklaim tindakannya sebagai “perbaikan” adalah pengulangan kritik dalam surat Al-Baqarah Ayat 11:
“وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ”
“Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.”
Refleksi ini menunjukkan bahwa hukum alam dan hukum Tuhan selaras. Implementasi Fiqh al-Bi’ah, yang sejalan dengan Etika Tanggung Jawab Jonas dan Ekologi Mendalam Næss, harus menjadi panduan bagi ulil amri (pemangku kebijakan) untuk mengakhiri fasad di Sumatera. Merawat alam adalah ibadah, merusaknya adalah fasad yang berujung pada kehancuran dan kerugian bagi umat manusia.(*)
NADHIF MUHAMMAD MUMTAZ
Intelektual Muda NU dan Peneliti di Institute for Transformative Research on Sustainability and ReIigios Action (INTIRA)



