
Tahun ini Indonesia genap berusia 80 tahun, sebuah momen yang seharusnya menjadi ajang perenungan besar tentang ke mana arah bangsa ini berjalan. Di tengah riuh rendah perbincangan tentang capaian dan tantangan, siapa sangka, sebuah manga dari Jepang justru menawarkan cermin yang luar biasa tajam untuk kita berkaca. Ya, kita bicara soal One Piece. Di balik petualangannya yang seru, ada kritik sosial pedas yang polanya, mau tidak mau, mengingatkan kita pada persoalan mendasar yang masih kita hadapi setelah delapan dekade merdeka.
Di puncak tatanan dunia One Piece tersebut bersemayam representasi sempurna dari kelas borjuis absolut, Naga Langit (Tenryuubito). Sebagai keturunan para pendiri, mereka adalah kelas penguasa yang mewarisi kekuasaan tanpa pernah bekerja. Perilaku brutal mereka terwujud dalam karakter seperti Saint Charlos, yang tanpa ragu menembak atau mencoba memperbudak siapa saja yang melintas di hadapannya. Terisolasi dalam kemewahan di Mary Geoise, mereka adalah simbol dari elit yang sepenuhnya terasing dari realitas penderitaan kelas yang mereka eksploitasi.
Di bawah mereka, ada sisanya yaitu rakyat jelata, kaum pekerja, dan ras-ras yang dianggap rendahan seperti Manusia Ikan. Perjuangan mereka untuk bebas dari perbudakan melahirkan legenda perlawanan seperti Fisher Tiger. Untuk memastikan tatanan ini tidak goyah, Pemerintah Dunia punya senjata ampuh: mereka menghapus Abad Kekosongan dari sejarah. Tujuannya jelas, agar tidak ada yang tahu borok di balik kekuasaan mereka, membiarkan semua orang hidup dalam “kesadaran palsu”.
Tapi penindasan selalu mengundang perlawanan. Dalam dunia One Piece, perlawanan itu punya dua wajah. Ada Pasukan Revolusioner yang dipimpin oleh figur misterius Monkey D. Dragon, sebuah gerakan politik terorganisir yang bertujuan meruntuhkan tatanan dari akarnya. Lalu, ada anomali bernama Monkey D. Luffy. Ia tak pernah bicara soal politik atau revolusi. Namun, aksinya membebaskan Kerajaan Alabasta dari cengkeraman Crocodile atau menghancurkan tirani Doflamingo di Dressrosa justru menjadi percikan api revolusi yang sesungguhnya.
Semangat kebebasan inilah yang ternyata begitu relevan dengan kegelisahan anak-anak muda di Indonesia. Di negara yang akan merayakan 80 tahun kemerdekaannya, janji-janji kemerdekaan tentang keadilan sosial seringkali masih terasa jauh dari kenyataan. Maka, simbol bajak laut Topi Jerami pun “diimpor” menjadi lambang perlawanan, menyuarakan aspirasi mereka yang merasa suara dan nasibnya terpinggirkan.
Momen puncaknya adalah saat bendera itu berkibar di tengah lautan massa dalam aksi-aksi penolakan kebijakan pemerintah, seperti polemik UU Cipta Kerja. Bagi para mahasiswa di jalanan, simbol itu adalah pernyataan sikap. Mereka melihat adanya paralel antara Pemerintah Dunia yang melayani Naga Langit dengan pemerintah yang kebijakannya dirasa lebih memihak kepentingan oligarki ketimbang rakyat banyak.
Lalu, apa yang terjadi saat simbol ini turun ke jalan? Tentu saja, benturan. Bagi aparat atau sebagian masyarakat yang awam dengan budaya pop ini, bendera tengkorak adalah sinyal bahaya. Bendera itu dilihat sebagai lambang anarkisme atau kelompok liar tak dikenal. Momen ketika aparat menyita bendera-bendera tersebut menjadi ironi tersendiri; tindakan itu justru semakin mengonfirmasi narasi perlawanan yang diusung oleh para pengunjuk rasa.
Benturan ini semakin keruh ketika ditarik ke dalam ranah paranoia politik. Di grup-grup media sosial dan lingkaran konservatif, muncul tuduhan absurd yang mengaitkan bendera One Piece dengan simbol organisasi terlarang, bahkan PKI. Ini tentu bukan kebingungan biasa, melainkan sebuah strategi sinis untuk mendelegitimasi gerakan. Dengan menempelkan stigma paling menakutkan dalam sejarah Indonesia, ada pihak yang berharap bisa memadamkan simpati publik dan mengalihkan isu dari substansi protes.
Lalu muncul perdebatan lain yang relevan dengan momen 80 tahun kemerdekaan: soal nasionalisme. Sebagian orang menganggap mengibarkan bendera bajak laut dari Jepang saat demo adalah tindakan tidak patriotik. Tapi bagi para demonstran, ini justru pertanyaan mendasar tentang makna patriotisme itu sendiri. Setelah 80 tahun merdeka, apakah patriotisme hanya soal mengagungkan simbol negara, atau tentang keberanian memperjuangkan cita-cita kemerdekaan yang belum terwujud?
Semua kontroversi bendera ini pada akhirnya hanyalah gejala. Akarnya adalah betapa relevannya semangat perjuangan kelas itu sendiri dengan kondisi Indonesia hari ini. Ini bukan lagi soal teori, tapi soal pertarungan kepentingan yang nyata antara segelintir elite dengan mayoritas rakyat.
Di panggung kebijakan, kita melihat bagaimana UU Cipta Kerja memicu perlawanan besar karena dinilai lebih memihak pemilik modal ketimbang buruh. Semangat yang sama muncul saat kebijakan iuran Tapera diwacanakan, yang terasa seperti membebani kantong pekerja di tengah ekonomi yang sulit. Di sisi lain, subsidi kendaraan listrik justru dikritik karena seolah hanya dinikmati kalangan berduit, mempertajam rasa ketidakadilan dalam alokasi sumber daya negara.
Perjuangan ini bukan cuma soal upah, tapi juga soal tanah, alat produksi paling dasar. Konflik agraria yang pecah di berbagai tempat, seperti di Rempang atau Wadas, adalah cerminan langsung dari hal ini. Situasinya mirip seperti di negeri Wano yang sumber dayanya dikeruk habis oleh Kaido dan Orochi. Gema cerita fiksi ini terasa begitu nyata saat muncul kebijakan kontroversial seperti pemberian izin tambang untuk Ormas, yang memicu ketakutan akan kerusakan lingkungan demi kepentingan kelompok tertentu.
Kemudian untuk membungkam suara-suara protes, kini ada “Cipher Pol” versi dunia nyata, UU ITE. Pasal-pasal karet di dalamnya kerap digunakan untuk menjerat aktivis atau warga biasa yang kritis. Ini adalah cara modern dari penguasa untuk memastikan narasi mereka tidak diganggu, mirip seperti Pemerintah Dunia yang memburu Nico Robin agar rahasia kelam mereka tetap terkubur.
Kekuasaan elit tidak hanya dijaga lewat represi, tapi juga diperkuat melalui struktur. Lihat saja revisi UU Kementerian Negara yang menghilangkan batasan jumlah menteri. Aturan ini membuka pintu bagi pembentukan kabinet “gemuk” sebagai alat akomodasi politik, yang ujung-ujungnya memperkokoh cengkeraman kekuasaan eksekutif di tangan lingkaran yang itu-itu saja.
Di ufuk senja abad pertama republik ini, saat 80 tahun kemerdekaan membayang, selembar panji fiksi melambai membawa pesan yang begitu nyata. Bendera Topi Jerami menjadi simbol pengingat bahwa kemerdekaan bukanlah pelabuhan akhir, melainkan samudra perjuangan yang tak bertepi untuk lepas dari badai kemiskinan, karang ketidakadilan, dan gelombang penindasan. Di tengah samudra itulah kita berlayar menuju “One Piece” sejati, sebuah pulau harapan bernama keadilan sosial, yang petanya telah digambar 80 tahun silam dan arung jeramnya masih kita hadapi hingga detik ini. Semoga.
ACHMAD MUZAKKY
Budayawan Muda dan Penikmat Budaya Populer “One Piece”, Tinggal di Surabaya



