Saturday, October 25, 2025
spot_img
HomeGagasanUrgensi Pembelajaran Agama di Perguruan Tinggi: Menyiapkan Generasi Ulul Albab

Urgensi Pembelajaran Agama di Perguruan Tinggi: Menyiapkan Generasi Ulul Albab

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
– (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Ayat ini bukan sekadar janji spiritual, melainkan hukum sosial peradaban (sunnatullah fit-tamaddun). Sejarah membuktikan, masyarakat yang berhasil memadukan iman dan ilmu secara harmonis akan menempati derajat kemuliaan yang tinggi. Di situlah letak relevansi urgensi pembelajaran agama di perguruan tinggi yang bukan hanya untuk memperkuat spiritualitas individu, tetapi juga membangun arah peradaban yang berkeadaban.

Dekonstruksi Krisis Modernitas

Kita hidup di era “banjir informasi, kekeringan makna.” Perguruan tinggi yang sejatinya menjadi pusat pencerahan (locus of enlightenment) sering kali terjebak dalam paradigma positivistik yang menilai kebenaran hanya dari apa yang terukur secara material. Akibatnya, lahir generasi intelektual yang piawai secara teknis, namun kehilangan kedalaman makna.

Insinyur membangun jembatan, tapi abai terhadap ketimpangan sosial di bawahnya. Dokter menyembuhkan penyakit fisik, tapi lupa mengobati luka batin pasiennya. Ekonom menghitung pertumbuhan, tapi mengabaikan kemiskinan spiritual masyarakat.

Krisis ini sejatinya bukan semata-mata krisis moral, melainkan krisis epistemologis. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebutnya sebagai “confusion and error in knowledge”, kekacauan dalam memahami hakikat ilmu akibat penetrasi sekularisme ke dalam pikiran umat Islam. Karena itu, pembelajaran agama yang integratif menjadi langkah strategis untuk melakukan “dekolonisasi intelektual”, mengembalikan ilmu ke hakikatnya sebagai jalan untuk mengenal Allah (ma’rifatullah).

Setidaknya ada 3 perspektif yang dapat dilihat untuk melakukannya. Pertama, ilmu sebagai jalan ma‘rifatullah. Bagi para sufi, alam semesta adalah tadzkiratul kauniyyah (ayat-ayat kauniyah) dan Al-Qur’an adalah tadzkiratul qur’aniyyah (ayat-ayat qur’aniyyah). Keduanya adalah dua kitab yang ditulis oleh Pencipta yang sama. Dengan begitu misalnya, seorang fisikawan yang meneliti partikel subatom sejatinya sedang menyelami tajalli (manifestasi) Asmaul Husna seperti Al-Lathif (Maha Halus) dan Al-‘Azhim (Maha Agung). Setiap hukum fisika adalah pantulan dari Sunnatullah yang abadi. Ketika kemudian perguruan tinggi menjadi ruang khalwat, maka proses penelitian yang mendalam bisa menjadi bentuk ibadah intelektual. Seorang ilmuwan yang meneliti dengan niat mencari kebenaran hakiki sejatinya tengah berzikir melalui akalnya. Pada akhirnya, terjadi integrasi antara akal dan qalb. Hal ini menjadi penting mengingat pendidikan modern sering kali hanya mengasah ‘aql al-juz’i (akal parsial). Namun, pembelajaran agama menuntun agar akal kembali berpadu dengan qalb, melahirkan ‘aql al-kulli (akal universal) yang mampu melihat keterhubungan segala sesuatu secara tauhidik. Dengan demikian, ilmu tidak berhenti pada data dan rumus, tetapi berbuah hikmah dan ketundukan kepada Sang Pencipta.

Kedua, ilmu agama menjawab tantangan peradaban 2045. Kita tengah memasuki era revolusi teknologi yang akan mengubah definisi manusia itu sendiri yakni artificial intelligence atau akal imitasi (AI), bioteknologi, hingga digital immortality yang akhirnya membuat etika berada di persimpangan. Siapa yang berhak menentukan moralitas bagi mesin cerdas atau bayi hasil rekayasa genetik? Di sinilah nilai-nilai agama berperan sebagai fondasi etik yang kokoh yakni menjawab pertanyaan mendasar tentang hakikat manusia, tujuan hidup, dan takdir.

Selain itu, dalam dunia yang semakin maya, manusia justru semakin haus akan spiritualitas yang nyata. Pendidikan agama harus melatih daya tahan spiritual (spiritual immune system) agar generasi muda tidak kehilangan jati diri di tengah realitas semu dan pada akhirnya berdampak pada bagaimana dakwah digital dilakukan mengingat masa depan dakwah ada di ruang algoritma. Kampus perlu melahirkan ulama digital yakni cendekiawan yang memahami agama sekaligus etika teknologi serta mampu menanamkan nilai Qur’ani ke dalam sistem digital masa depan.

Ketiga, ilmu agama melahirkan kembali “Ibn Sina dan Al-Khawarizmi” baru. Keemasan Islam lahir ketika iman dan ilmu berpadu dalam satu visi peradaban. Para ilmuwan Muslim klasik tidak melihat sains dan agama sebagai dua entitas yang bertentangan, tetapi sebagai dua sayap yang membawa manusia terbang menuju kebenaran.

Kini, dunia Islam terlalu lama menjadi konsumen teknologi Barat. Sudah saatnya kita kembali menjadi produsen ilmu, dengan paradigma yang berbeda yaitu teknologi yang berlandaskan rahmat, bukan eksploitasi; sains yang mengantarkan manusia pada kesadaran Ilahi, bukan keterasingan spiritual. Hal ini akan menggerakkan pengelola perguruan tinggi melahirkan apa yang disebut kurikulum Tawhidic Science sehingga dengan begitu mahasiswa teknik misalnya, dapat diajak memahami filosofi teknologi dari kacamata Islam atau mahasiswa kedokteran dikenalkan konsep ruh dan qadar dalam menghadapi pasien terminal. Langkah ini pada akhirnya akan membuat kampus menjadi Baitul Hikmah modern dimana universitas menjadi ekosistem ilmu yang memadukan zikir dan pikir, tempat Al-Qur’an dan sains saling berkelindan dalam satu narasi kebijaksanaan.

Menuju Kampus Profetik

Urgensi pembelajaran agama di perguruan tinggi bukanlah wacana normatif, melainkan proyek rekayasa peradaban. Ia bertujuan untuk :

  1. Mengobati dikotomi antara ilmu dan agama.

  2. Membekali manusia dengan kompas makna di tengah badai teknologi.

  3. Melahirkan generasi Ulul Albab – mereka yang berpikir, berzikir, dan beraksi dalam satu kesatuan visi ilahiah (QS. Ali Imran [3]: 191).

Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Di abad ke-21, medan akhlak itu bukan hanya di mimbar, tetapi juga di laboratorium, ruang server, dan ruang kebijakan publik. Maka, pembelajaran agama yang sejati bukanlah tentang menambah jam pelajaran fiqih atau akidah, melainkan menyalakan kembali cahaya ma’rifah di setiap disiplin ilmu. Sebagaimana diungkapkan Badiuzzaman Said Nursi:

“Iman adalah matahari di dalam diri manusia, dan ilmu adalah cahayanya.”

Tugas perguruan tinggi kini adalah memastikan bahwa matahari iman itu bersinar di setiap ruang kuliah, agar cahaya ilmu yang dipancarkannya bukan cahaya yang membutakan, melainkan cahaya yang menuntun peradaban manusia keluar dari gelapnya materialisme menuju fajar kebijaksanaan yang abadi. Semoga.

BADRAH UYUNI

Dosen dan Sekretaris Prodi Pascasarjana Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah Bekasi Jawa Barat

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular