Saturday, October 25, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaSastraUnder Siege: Politik Penghiburan Dari Dinasti Kekuasaan

Under Siege: Politik Penghiburan Dari Dinasti Kekuasaan

“Kami tidak pernah meminta kekuasaan, kami dipanggil untuk melayani. Dan dengan demikian, kami menolak menyerahkan martabat kami kepada massa.” – Eric Trump (41), Under Siege: My Family’s Fight to Save Our Nation (2025)

Eric Trump, putra kedua dari Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump (79), lahir pada 6 Januari 1984, yang berarti kini ia berusia 41 tahun.

Pada Oktober 2025 ini, ia merilis buku memoar berjudul Under Siege: My Family’s Fight to Save Our Nation, sebuah karya yang segera menempati posisi teratas di tangga penjualan Amazon dan dipuji langsung oleh ayahnya di platform X sebagai “buku fenomenal dan wajib dibaca semua orang”.

Dalam Under Siege, Eric Trump menuturkan kisah hidupnya sebagai bagian dari keluarga paling kontroversial di Amerika.

Ia mengisahkan masa kecilnya, perannya dalam kampanye presiden 2016 dan 2024, serta keterlibatannya dalam Trump Organization sebagai Wakil Presiden Eksekutif.

Buku ini juga memuat refleksi atas tekanan hukum, serangan media, dan apa yang ia sebut sebagai “lawfare”, perang hukum terhadap keluarganya.

Ia menulis dengan nada yang campur aduk antara pembelaan diri, kebanggaan keluarga, dan keyakinan ideologis.

Buku ini, menurutnya, adalah proses yang “katarsis” di tengah kiprah paling kontroversi laku politik ayahnya, Donald Trump, dalam lebih 100 tahun sejarah demokrasi di Amerika Serikat.

Membaca Under Siege mengingatkan kita pada apa yang dikemukakan Mortimer J. Adler dan Charles Van Doren dalam How to Read a Book (1972; 2021): bahwa membaca bukan sekadar menyerap informasi, melainkan berdialog dengan pikiran penulis.

Eric Trump, dalam hal ini, bukan hanya menyampaikan narasi, tetapi mengundang pembaca untuk memahami bagaimana rasanya hidup dalam pusaran kekuasaan, sorotan, dan tuduhan.

Ia tidak menulis sebagai korban, melainkan sebagai saksi dan pelaku sejarah yang ingin dikenang bukan karena nama belakangnya saja, tetapi karena pilihannya untuk bertahan dan membangun.

Dalam konteks Haus Buku (1987) dari Annie François (1944-2009), buku ini bisa dibaca sebagai bentuk “politik penghiburan” (politic of consolations).

Dikutip ungkapannya, “Membaca adalah cara saya menghindar dari dunia, sekaligus cara saya memahaminya.”

Ibarat sebuah narasi yang tidak menawarkan solusi kebijakan, tetapi penguatan identitas dan solidaritas emosional bagi mereka yang merasa “dikepung” oleh arus zaman. Eric tidak menjual kebijakan, ia menjual keteguhan.

Ia tidak menawarkan program, ia menawarkan pengakuan bahwa menjadi Trump adalah menjadi simbol perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai kemunafikan elite dan media.

Ironisnya, di saat seorang anak presiden dari negeri adidaya menulis buku untuk membela keluarganya dari badai politik dan hukum, anak-anak presiden dari negeri tropis Konoha-62 justru sibuk memanjat tangga kekuasaan dengan tali tambang dinasti.

Gibran, Kaesang, dan menantu Bobby Nasution seolah berlomba-lomba menunjukkan bahwa meritokrasi adalah mitos yang bisa dibeli dengan marga, restu dan tentu fulus.

Jika Eric Trump menulis untuk menjelaskan, anak-anak Jokowi tampaknya lebih suka menulis sejarah dengan pena kekuasaan yang belum kering dari tinta kental kemaruk nepotisme.

Di negeri ini, Under Siege bukanlah memoar, melainkan strategi kampanye. Dengan kata lain, dalam dunia yang penuh dengan “political decay”, buku Eric Trump justru tampil sebagai paradoks yang menyegarkan.

Ia tidak memohon jabatan, tidak menuntut warisan kekuasaan, dan tidak menumpang nama ayahnya untuk mencalonkan diri sebagai wali kota. Ia malah menulis.

Dan dalam menulis, ia menunjukkan bahwa bahkan dalam keluarga yang paling kontroversial pun, masih ada ruang untuk membela diri dengan kata, bukan dengan kursi kekuasaan.

#coversongs: Lagu nasional Amerika Serikat adalah “The Star-Spangled Banner”, yang diadopsi secara resmi sebagai lagu kebangsaan pada tahun 1931.

Liriknya ditulis oleh Francis Scott Key pada tahun 1814, terinspirasi oleh pertempuran Fort McHenry selama Perang tahun 1812.

Lagu ini menggambarkan bendera Amerika yang tetap berkibar di tengah serangan, menjadi simbol keteguhan dan kebebasan.

Versi Whitney Elizabeth Houston (1963-2012): Penampilan legendaris: 27 Januari 1991, saat Super Bowl XXV di Tampa Stadium, Florida; single: 12 Februari 1991; Re-rilis 26 September 2001(pasca tragedi 9/11) sebagai lagu amal untuk mendukung keluarga tentara AS.

Penampilan Huston dianggap sebagai salah satu interpretasi terbaik sepanjang masa, dan menjadi momen patriotik yang menyentuh jutaan orang.

REINER EMYOT OINTOE

Fiksiwan

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular