
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Nama Kukuh Yudha Karnanta, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), kembali mengharumkan almamaternya di kancah sastra internasional. Ia terpilih sebagai salah satu pembicara dalam Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025, festival sastra bergengsi yang mempertemukan ratusan penulis dan pembaca dari berbagai belahan dunia.
Keikutsertaan Kukuh menjadi kebanggaan tersendiri bagi UNAIR. Selain memperlihatkan kiprah akademisi Indonesia di ranah global, ia juga membawa semangat literasi yang inklusif dan terbuka terhadap perubahan zaman.
“UWRF adalah festival sastra yang terkonsep dan tereksekusi dengan baik, serta inklusif. Ada 150 penulis dan ratusan pembaca dari berbagai negara mulai dari Asia, Eropa, Australia, hingga Amerika, semuanya memiliki ruang setara untuk berbicara. Baik yang sudah mapan maupun yang masih emerging. Bagi saya, UWRF adalah perayaan miniatur semesta sastra dunia,” ujar Kukuh di Surabaya, Sabtu (8/11/2025).
Dalam forum internasional tersebut, Kukuh menjadi pembicara dalam sesi diskusi mengenai artificial intelligence atau akal imitasi (AI) dan pengaruhnya terhadap dunia tulis-menulis. Ia menilai, teknologi AI kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, termasuk dalam proses kreatif sastra.
“AI sudah menjadi realitas. Menolaknya mentah-mentah tidak realistis, tetapi menggunakannya tanpa etika juga berisiko. Diperlukan pengetahuan dan tanggung jawab agar AI bisa dimanfaatkan secara bijak, terutama dalam dunia penulisan,” ungkapnya.
Di luar sesi diskusi, Kukuh juga berinteraksi dengan para penulis emerging dari berbagai negara. Menurutnya, suasana festival yang akrab dan cair menjadi pengalaman berharga yang menegaskan makna sastra sebagai ruang pertemuan lintas budaya.
“Yang awalnya belum saling kenal, pulang-pulang rasanya seperti saudara. Kami berjanji saling menyapa lewat karya. Saya kira, begitulah sastra dimana ia mampu mendekatkan dan mengakrabkan,” kenangnya.
Sebagai akademisi yang terbiasa berada di forum ilmiah, Kukuh mengaku menemukan nuansa berbeda di UWRF. Festival ini menghadirkan atmosfer yang hangat, terbuka, dan kaya pertukaran gagasan.
“Sebagai dosen, saya justru belajar banyak dari forum ini. Diskusinya hidup, terbuka, dan sangat menghargai perbedaan. Saya juga sempat bertemu beberapa penerbit yang tertarik pada karya saya, ini tentu peluang kolaborasi yang menarik,” ujarnya.
Menurut Kukuh, tren global di UWRF kini tidak hanya berfokus pada sastra, tetapi juga merambah ke berbagai topik lain seperti sejarah, lingkungan, dan politik. Karena itu, ia mendorong agar civitas akademika UNAIR turut aktif berpartisipasi dalam ajang internasional semacam ini.
“UWRF tidak hanya bicara soal sastra. Ada banyak tema lintas ilmu yang bisa jadi ruang kontribusi akademisi UNAIR. Apalagi UNAIR juga punya penerbitan sendiri. Kenapa tidak mulai lebih banyak menerbitkan karya sastra dan ikut berkiprah di UWRF mendatang?” pungkasnya.(*)
Kontributor: PKIP
Editor: Abdel Rafi



