Sunday, December 21, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaSastraMenandai Satu Abad Stadion Gajayana, Malang Abadikan Sejarah Lewat Buku

Menandai Satu Abad Stadion Gajayana, Malang Abadikan Sejarah Lewat Buku

Para pegiat literasi, penulis, tokoh masyarakat dan Wakil Walikota Malang berfoto bersama dalam acara bedah buku “Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malang” di Grand Mercure Hotel Malang, Jumat (19/12/2025). (foto: Bachtiar Dj)

MALANG, CAKRAWARTA.com – Kota Malang menandai usia ke-111 tidak dengan seremoni semata, melainkan melalui ikhtiar literasi. Sebuah buku berjudul “Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malangdiluncurkan sebagai penanda sejarah stadion tertua di Indonesia yang masih berfungsi aktif hingga kini.

Buku setebal 550 halaman itu diluncurkan sekaligus dibedah dalam sebuah forum reflektif di Grand Mercure Hotel Malang, Jumat (19/12/2025). Acara tersebut dihadiri Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin, para penulis, pegiat budaya, tokoh literasi, serta penerbit dari Malang Raya. Peluncuran buku ini juga menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun ke-111 Kota Malang serta momentum pengakuan UNESCO atas Malang sebagai Kota Kreatif Dunia.

Terbit pada tahun yang sarat simbol, buku ini merekam tiga lapis sejarah sekaligus: satu abad Stadion Gajayana, usia Kota Malang yang menembus angka 111, serta pengakuan internasional terhadap kreativitas dan kebudayaan kota.

Stadion Gajayana dibangun pada periode 1924–1926 dengan biaya sekitar 100.000 gulden. Usianya bahkan lebih tua dari Republik Indonesia. Hingga kini, stadion tersebut tercatat sebagai stadion tertua di Tanah Air yang masih berdiri dan digunakan.

Dalam catatan sejarah olahraga nasional, Stadion Menteng di Jakarta memang lebih awal dibangun pada 1921. Namun, stadion itu telah dirobohkan pada 2006 dan kini beralih fungsi menjadi ruang terbuka hijau. Stadion Sriwedari di Solo, yang dibangun atas perintah Sri Susuhunan Pakubuwono X, baru mulai didirikan pada 1932. Fakta-fakta tersebut menegaskan posisi Stadion Gajayana sebagai artefak olahraga tertua yang masih “hidup” di Indonesia.

“Buku ini merupakan bukti nyata kolaborasi yang hidup di Kota Malang,” ujar Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin dalam sambutannya. Menurut dia, pembangunan kota tidak boleh tercerabut dari sejarah dan akar kebudayaannya.

“Membangun kota harus berorientasi pada masa depan, tetapi jangan sampai kehilangan karakter, jati diri, dan akar keluhuran sebagai masyarakat berbudaya,” katanya.

Ali juga menyebut proses penulisan buku ini sebagai bentuk kerja intelektual yang bernilai ibadah. “Menulis bukan hanya mengolah pikiran, tetapi juga jiwa dan batin. Apa yang dituliskan hari ini akan menjadi penanda zaman bagi generasi mendatang,” ujarnya.

Buku “Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malangditulis secara kolaboratif oleh sekitar 40 penulis yang tergabung dalam Spektrum Satu Abad Stadion Gajayana. Para penulis berasal dari beragam latar belakang, mulai dari sejarawan, akademisi, jurnalis, budayawan, arsitek, hingga praktisi olahraga.

Buku ini disusun dalam 12 bab yang mengulas transformasi fisik stadion, konteks sosial-historis Kota Malang, peran stadion sebagai ruang publik dan budaya, hingga gagasan menjadikan Gajayana sebagai pusat GLAM (Gallery, Library, Archive, and Museum). Narasi yang disajikan tidak hanya menampilkan fase kejayaan, tetapi juga masa-masa krisis dan tantangan yang dihadapi stadion sepanjang sejarahnya.

Ketua IKAPI Kota Malang sekaligus pimpinan Media Nusa Creative Publishing, Gedeon Soerja Adi, menilai buku ini sebagai tonggak penting bagi literasi lokal. “Ini bukan sekadar buku sejarah, melainkan buku warisan. Identitas kota dirawat melalui penulisan sejarah yang berkesadaran jangka panjang,” ujarnya.

Menurut Gedeon, penerbitan buku ini sekaligus menegaskan ekosistem literasi Malang sebagai Kota Kreatif Dunia. “UNESCO tidak hanya berbicara tentang industri kreatif, tetapi juga memori kolektif dan pengetahuan. Buku ini menjadi bukti kuatnya tradisi literasi di Malang,” katanya.

Lebih dari sekadar kronik stadion, buku ini memotret Stadion Gajayana sebagai ruang kolektif tempat memori dan harapan bertemu. Stadion tersebut pernah menjadi lokasi penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang pada 1942, markas militer rakyat Malang saat Agresi Militer Belanda I, hingga arena pidato Bung Tomo yang membakar semangat perjuangan.

Di tengah Malang yang terus bergerak menuju modernitas, buku ini hadir sebagai pengingat bahwa kemajuan tidak boleh memutus ingatan. “Verba volant, scripta manent,” ujar Ali Muthohirin. Apa yang dituliskan akan tinggal dan menjadi warisan.

Melalui buku ini, Stadion Gajayana tidak hanya berdiri sebagai bangunan tua di jantung kota, melainkan sebagai bagian dari jiwa Kota Malang yang terus hidup, dikenang, dan diwariskan melalui literasi lintas generasi.(*)

Kontributor: Bachtiar Dj 

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular