Thursday, November 13, 2025
spot_img
HomeSosokNurul Kurniasari Menyalakan Api Literasi dari Rumah di Ujung Kalimantan

Nurul Kurniasari Menyalakan Api Literasi dari Rumah di Ujung Kalimantan

Nurul Kurniassri dan penghargaan-penghargaan yang diraihnya bersama Roemadjiwa yang didirikannya. (foto: dokumen pribadi)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Ketika banyak orang memilih menunggu keadaan membaik setelah pandemi melumpuhkan dunia, Nurul Kurniasari justru mengambil langkah berbeda. Lulusan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR) tahun 2020 itu menempuh perjalanan jauh dari Surabaya menuju Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, membawa segenggam idealisme dan setumpuk buku sastra peninggalan masa kuliahnya.

“Saat itu dunia terasa berhenti. Tapi saya tahu, diam terlalu lama juga tidak menyelesaikan apa pun,” kenangnya pelan.

Awal 2021, Nurul diterima sebagai guru pengganti mata pelajaran Seni Budaya di salah satu sekolah di Kubu Raya. Di sanalah ia berhadapan langsung dengan kenyataan bahwa minat baca yang rendah dan akses bacaan yang hampir tak ada di lingkungan tempat ia mengajar.

“Sekolah masih minim buku penunjang. Anak-anak jarang membaca, bukan karena tidak mau, tapi karena memang tidak punya bahan bacaan,” ujarnya.

Dari keresahan itu, ia memutuskan untuk berbuat sesuatu, meski sederhana. Bermodalkan rak kayu dan buku-buku pribadinya, Nurul membuka perpustakaan mini di rumah kontrakannya. Ia menamainya dengan penuh makna yaitu “Roemadjiwa”, rumah jiwa.

“Dengan prinsip mulai saja dulu, saya ingin rumah ini jadi tempat anak-anak belajar bermimpi,” katanya tersenyum.

Roemadjiwa, Dari Ruang Baca Jadi Gerakan Sosial

Inisiatif kecil itu kini menjelma menjadi komunitas literasi aktif yang tergabung dalam Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM). Roemadjiwa bukan sekadar tempat meminjam buku; ia tumbuh menjadi ruang belajar dan pemberdayaan.

Berkat kegigihan Nurul, Roemadjiwa mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk bantuan 1.000 buku dari program nasional peningkatan literasi. Kegiatan mereka kini beragam mulai dari kelas Bahasa Inggris setiap Senin hingga Kamis, hingga “Jumat Literasi”, di mana para anggota yang disebut memberdjiwa berkumpul untuk menulis, berdiskusi, atau membaca puisi.

“Dulu kelas Bahasa Inggris hanya seminggu sekali. Sekarang setiap hari ada kegiatan. Anak-anak semakin percaya diri berbicara dan berani bermimpi lebih jauh,” tutur Nurul bangga.

Dampak Roemadjiwa pun mulai terasa. Semangat membaca tumbuh, cara pandang anak-anak kampung berubah, dan pelan-pelan, lingkungan sekitar menjadi lebih hidup.

“Saya yakin, jika SDM di sekitar terus dikembangkan, bukan hanya anak-anak yang berubah. Kampung ini pun bisa memberi dampak lebih besar bagi lingkungannya,” ucapnya penuh keyakinan.

Perjalanan Nurul tak berhenti di situ. Tahun ini, ia meraih Juara II Nasional Pemuda Pelopor Desa, penghargaan yang diberikan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Namun baginya, penghargaan itu bukan soal prestise.

“Saya ingin memperkenalkan Roemadjiwa lebih luas. Kalau hanya bergerak dalam senyap, perubahan tidak akan banyak berarti. Tapi lewat ajang-ajang seperti ini, saya bisa membawa suara literasi dari kampung ke tingkat nasional,” katanya.

Mimpi Nurul kini sederhana tapi besar: menghadirkan program beasiswa bagi anak-anak berprestasi di Roemadjiwa, agar semangat belajar mereka tak berhenti hanya karena keterbatasan.

“Setiap kebaikan yang kita bagi akan kembali kepada diri kita,” tuturnya. “Mungkin bukan dalam bentuk materi, tapi berupa kekuatan baru untuk terus melangkah.”

Di tengah dunia yang serba digital dan cepat, langkah Nurul Kurniasari terasa seperti napas segar, sebuah pengingat bahwa perubahan besar sering lahir dari ruang kecil, dari seseorang yang tak menunggu kesempatan, tapi menciptakannya.(*)

Kontributor: PKIP

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular