Thursday, April 25, 2024
HomeGagasanMenyikapi Tren Salafisme di Muhammadiyah

Menyikapi Tren Salafisme di Muhammadiyah

Hasil gambar untuk dr biyanto wakil sekretaris muhammadiyah jatim

 

Dalam sebuah komunikasi melalui media sosial yang dikirim ke penulis, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Anwar Abbas, menyatakan, “Ada sebuah fenomena yang mengkhawatirkan di dalam tubuh Persyarikatan saat ini. Dimana paham dan amalan yang dianut dan dilaksanakan aktivis Persyarikatan sudah tidak sama dalam beberapa hal dengan faham dan amalan Muhammadiyah”.

Guru-guru ngaji yang diundang oleh pimpinan amal usaha kalau kita lihat cara berpakaiannya sepertinya bukan dari guru ngaji Muhammadiyah lagi. Sudah waktunya Muhammadiyah melakukan evaluasi terhadap hal tersebut. Benarkah dalam hal yang menyangkut paham dan praktik keagamaan telah terjadi pergeseran di kalangan warga Persyarikatan?”

Begitulah kegalauan Buya Anwar—sapaan akrab Anwar Abbas—yang juga menjabat Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kegalauan Buya Anwar layak menjadi perhatian seluruh pimpinan Muhammadiyah.

Kegalauan yang sama juga pernah disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Nur Cholis Huda, M.Si. Dalam rapat rutin PWM, Pak Nur—panggilan akrab Nurkholis Huda—bercerita ada ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Jatim yang melaporkan bahwa saat ini banyak pegawai rumah sakit dan guru sekolah di lingkungan Persyarikatan yang pakaiannya berbeda dengan yang lain. Sebagian pegawai dan guru di Muhammadiyah mulai bercadar dan bercelana cingkrang. Sang ketua PDM itu bertanya bagaimana seharusnya sikap pimpinan amal usaha Muhammadiyah (AUM) dan Muhammadiyah?

Pertanyaan itu penting menjadi renungan bagi aktivis Muhammadiyah. Tren salafisme yang menonjolkan simbol-simbol yang dipahami sebagai bagian ajaran Islam telah mewabah di tubuh AUM. Bahkan bukan hanya di AUM, melainkan juga di kalangan pimpinan Persyarikatan.

Untuk kasus yang di AUM sebaiknya diselesaikan dengan merujuk pada pakaian atau seragam pegawai di lingkungan Persyarikatan. Menurut peraturan tersebut ditegaskan bahwa untuk pegawai perempuan, yang harus ditutup adalah seluruh anggota tubuh kecuali muka/wajah dan telapak tangan. Jadi tidak diperkenankan karyawan/pegawai perempuan di AUM yang bercadar.

Sebab disamping tidak sesuai peraturan pakaian pegawai, bercadar bagi perempuan Muslimah juga tidak sejalan dengan paham Islam dalam perspektif Muhammadiyah. Pandangan yang sama juga bisa dilakukan untuk menata cara berpakaian bagi pegawai laki-laki. Alasan ketaksesuaian dengan paham Islam dalam Muhammadiyah mungkin bisa diperdebatkan. Karena itu, pimpinan AUM sebaiknya tidak beradu dalil dalam merespon soal perempuan bercadar atau pakaian celana cingkrang bagi laki-laki.

Hal itu karena kita harus menghormati setiap pilihan, keyakinan, dan pandangan keagamaan seseorang. Termasuk pilihan bercadar bagi Muslimah atau bercelana cingkrang bagi laki-laki. Perdebatan soal cadar, celana cingkrang, dan semua bentuk pakaian yang serupa juga tidak ada habisnya.

Yang sebaiknya dikedepankan pimpinan AUM dalam soal bercadar dan celana cingkrang adalah tidak sesuai dengan peratuan seragam pegawai di lingkungan AUM. Dengan alasan ini, pimpinan AUM dan Persyarikatan bisa mengambil sikap yang tegas terhadap munculnya gejala Salafisme di tubuh Persyarikatan dengan semua ekspresinya.

Dr. BIYANTO, M.Ag

Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

RELATED ARTICLES

Most Popular