
Hari ini, jemaah mulai bergerak menuju Arafah. Bukan lagi sekadar menunggu di hotel, tetapi benar-benar melangkah, dengan raga dan jiwa, menuju padang pengampunan itu.
Mulai malam ini, kita tak lagi bermalam di hotel, melainkan di Arafah.
Bersama jutaan jiwa lainnya, kita datang memikul beban masa lalu, namun membawa harapan besar akan masa depan yang lebih bersih.
Bukan karena merasa suci,
melainkan karena percaya bahwa Allah-lah yang akan menyucikan.
Dosa yang Membawa Datang, Bukan Menjauh
Lazimnya, rasa bersalah membuat seseorang menjauh.
Namun jemaah haji justru datang ke Arafah karena sadar akan kekeliruan.
Mereka datang bukan karena merasa pantas,
tetapi karena yakin bahwa Allah Maha Penerima taubat.
Arafah bukan sekadar lokasi,
ia adalah padang pengampunan.
Tempat di mana seorang pendosa menumbuhkan keberanian,
bukan untuk menutupi dosa,
tetapi untuk mengakuinya, dan memohon ampunan.
“Ya Allah… aku datang bukan membawa amal.
Yang kubawa hanya air mata dan harapan.
Jika bukan karena rahmat-Mu, aku tak layak bersimpuh di Arafah ini.”
Sadar Sakit, Baru Mau Diobati
Dalam dunia medis, tak ada pasien yang bersedia diobati jika ia tak merasa sakit.
Ia mungkin menolak pengobatan,
meskipun tubuhnya perlahan rusak dari dalam.
Demikian pula dengan dosa.
Yang tak merasa berdosa, tak akan pernah memohon ampun.
Dan yang tak memohon ampun,
bukan karena suci, barangkali karena hatinya telah kehilangan rasa.
Arafah adalah ruang diagnosa sekaligus ruang operasi jiwa.
Tempat di mana kita ditelanjangi dari kesombongan,
dan diberi ruang untuk menangis, tanpa harus menjelaskan.
Sebagaimana tubuh butuh perawatan harian,
jiwa pun membutuhkan penjagaan setiap waktu:
shalat, dzikir, sedekah, tilawah.
Itulah senam rohani kita,
agar tak ambruk sebelum waktu taubat berikutnya tiba.
Namun jika sudah terlanjur sakit,
datanglah ke Arafah.
Inilah rumah sakit terbesar bagi jiwa-jiwa yang ingin disembuhkan.
Reset Sistem Dosa
Dalam dunia teknik, ketika sistem mengalami banyak gangguan,
kita tekan tombol reset.
Kita bersihkan, format ulang, dan mulai dari awal.
Demikian juga Arafah.
Ia adalah tombol reset spiritual.
Saat dosa menumpuk dan hati terasa berat,
kita datang untuk menyambung kembali jiwa kepada pusat kendali: Allah.
Dari titik itu, hidup bisa dimulai kembali.
Dengan konfigurasi baru,
dan arah yang lebih tepat.
Harapan yang Mengalahkan Malu
Banyak yang datang dengan rasa malu.
Banyak yang merasa tak layak.
Namun mereka tetap melangkah ke Arafah,
karena mereka tahu:
Allah tidak menilai siapa kita kemarin,
tapi siapa kita hari ini,
dan ke mana arah kita melangkah.
“Tidak ada hari di mana Allah paling banyak membebaskan hamba dari neraka, kecuali hari Arafah.”
(HR. Muslim)
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.
Mohonlah ampunan, niscaya akan Aku ampuni.”
(QS. Ghafir: 60, Az-Zumar: 53)
Inilah doa di atas doa.
Doa yang berdiri di atas janji-Nya.
Bukan sekadar optimisme,
tetapi keyakinan yang berpijak pada langit.
Dan janji itu cukup,
untuk membuat kita tetap melangkah, meski tertatih.
Haji dan Harapan
Malam ini, jemaah bermalam di Arafah.
Bukan semata untuk tidur,
tetapi untuk memulai pertobatan besar-besaran.
Untuk menyambungkan koneksi spiritual paling penting:
antara jiwa yang lemah, dan Tuhan yang Maha Kuat.
Lihatlah wajah-wajah kami, ya Allah, di malam pengharapan ini.
Kami datang bukan dalam keadaan bersih,
melainkan dalam kondisi paling jujur sebagai hamba.
Kami menangis bukan sekadar karena takut,
tapi karena rindu, untuk Kau ampuni, dan Kau perbaiki.
Ya Allah…
Jika malam ini adalah malam terakhirku,
jadikanlah Arafah ini tempat akhir yang Engkau berkahi.
Namun jika esok masih Kau beri waktu,
maka jadikanlah sisa hidupku untuk berbakti,
beribadah kepada-Mu, dan bermanfaat bagi sesama.
Agar saat kami kembali kepada-Mu nanti,
kami tak hanya membawa amal ubudiyah,
tetapi juga amal sosial, untuk tetangga, kolega, dan bangsa yang kami cintai.
Semoga malam ini menjadi awal perubahan.
Dan semoga pagi esok menjadi fajar dari jiwa yang baru.
FIRMAN ARIFIN
Dosen PENS, Jamaah Haji 2025, KBIH Nurul Hayat