
KontraS merilis laporan setebal kesabaran publik: selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, dari Desember 2024 sampai November 2025, tercatat 205 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil. Situasinya bukan seperti hujan rintik-rintik, tapi seperti badai yang datang serentak dari segala penjuru.
Pelanggaran dilakukan 175 kali oleh Polri, 5 oleh TNI, dan 14 oleh aparatur negara lain, meninggalkan total 5.101 korban mulai dari luka, penyiksaan, sampai penangkapan sewenang-wenang. Jika angka-angka ini nilai ujian, negara tampaknya tengah menempuh semester paling buruk dalam sejarah mata kuliah “Hak Asasi Manusia I”.
Inilah konteks yang membuat KontraS menyebut tahun 2025 sebagai “katastrofe” HAM. Bukan sekadar karena jumlah kasusnya tinggi, tetapi karena pola yang berulang: pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, pembubaran aksi, kriminalisasi suara publik, hingga penghilangan paksa jangka pendek.
Semuanya berlangsung di tengah percepatan legislasi -UU TNI misalnya- yang disahkan tanpa partisipasi publik memadai. Seolah kebijakan negara kini dijalankan dengan mode “skip intro”, dan rakyat dipaksa menonton filmnya tanpa tahu plotnya.
Secara konsep, pelanggaran kebebasan sipil adalah serangan terhadap hak dasar untuk berbicara, berkumpul, bergerak, berkeyakinan, yang menjadi fondasi kehidupan republik. Dan karena kebebasan sipil adalah bagian dari hak asasi manusia, setiap pelanggaran atasnya otomatis masuk wilayah pelanggaran HAM.
Dalam istilah sederhana: kebebasan sipil itu pintu rumah; HAM itu seluruh bangunan. Kalau pintunya jebol, maling nilai-nilai juga akan mudah masuk.
Lalu kenapa polisi menjadi aktor paling dominan? Ada faktor struktural: kewenangan luas tanpa pengawasan kuat, budaya impunitas yang menahun, serta kecenderungan aparat melihat kritik sebagai gangguan, bukan sebagai vitamin demokrasi.
Namun faktor institusional juga bekerja: polisi menjadi alat pertama negara ketika menghadapi “ketertiban”, sebuah konsep elastis yang kadang ditarik sesuai panjang selimut kekuasaan.
Dalam teori politik, ini disebut “coercive apparatus”, lembaga negara yang diberi mandat kekuatan fisik. Masalah muncul ketika aparat ini tidak diimbangi akuntabilitas. Akhirnya, logika keamanan mendominasi logika hak, seperti memasak sayur tanpa garam empati.
Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Polisi India membubarkan protes petani dengan gas air mata; polisi Thailand mengkriminalisasi demonstran muda. Bahkan Prancis, yang setiap tahun rajin berparade “liberté-égalité-fraternité”, tetap diguncang isu kekerasan berlebihan.
Ilmu sosial menyebutnya “militarized policing”, ketika mentalitas militer merembes ke lembaga sipil, maka rakyat diperlakukan bukan sebagai warga, tetapi sebagai objek operasi. Dan objek, seperti kita tahu, tidak pernah dipersilakan berdialog.
Menariknya, kritik terhadap penyalahgunaan aparat sudah disuarakan jauh sebelum negara modern lahir. Ibnu Khaldun, dalam kitab “Muqaddimah” karyanya, mengingatkan bahwa negara berdiri di atas “ashabiyyah”, kohesi sosial yang kuat. Aparat keamanan, menurutnya, mesti menjadi “hirasah” (penjaga), bukan “ghalabah” (penakluk).
Ketika penguasa membiarkan aparat menggunakan kekerasan tanpa batas untuk “menaklukkan” rakyat, negara jatuh dalam “dzulm” (kezaliman), dan dari sanalah dimulainya proses pembusukan internal. Seolah Ibnu Khaldun membaca laporan KontraS berabad-abad lebih awal dan dengan tenang berkata, “Begini biasanya kalau negara lupa menata penjaganya.”
Di titik ini, kita melihat bahwa pelanggaran kebebasan sipil bukan sekadar daftar kasus. Ia cermin retak, memantulkan bahwa negara masih gagap mengelola kekuasaan secara adil. Bahkan gelar kehormatan diberikan kepada sosok-sosok yang diduga terlibat pelanggaran masa lalu, seolah sejarah bisa dipoles seperti piring bekas lebaran.
Tekanan terhadap masyarakat sipil berlangsung bersamaan dengan kemandekan penyelesaian pelanggaran HAM berat, karena tarik-menarik kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan yang tidak kunjung dibereskan sejak tahun 2000.
Namun dari tragedi, kadang tumbuh hikmah. Data yang pedih ini justru memaksa kita bertanya ulang: untuk apa negara berdiri, jika bukan untuk melindungi rakyatnya? Bahwa luka, meski menyakitkan, bisa mengajarkan arah. Bahwa kehilangan kebebasan hari ini dapat menjadi pijakan pembaruan esok.
Kita bisa memilih menertawai absurditas keadaan, tawa getir yang kadang lebih jujur dari pidato resmi, sambil menyadari bahwa perubahan tak datang dari diam, tetapi dari keberanian untuk terus mengingat, mencatat, dan menuntut.
AHMADIE THAHA (Cak AT)
Wartawan Senior



